Rabu, 19 Mei 2010

Tiada yang tak mungkin

“Mana mungkin anakku bisa mengi-kuti Pesantren Ramadhan seperti itu” gumam salah seorang ayah siswa Santi Rama, pada waktu menyaksikan tayangan televisi mengenai kegiatan Pesantren Ramadhan untuk anak-anak yang mendengar. Begitulah ungkapan tulus yang meluncur dari lubuk hati yang paling dalam seorang ayah yang diwarnai rasa iri.

Orangtua manakah yang tidak senang jika putranya bisa mengikuti kegiatan yang biasa dilakukan oleh anak pada umumnya. Kerinduan dan rasa iri hati untuk memandikan putranya dalam kegiatan keagamaan sedini mungkin selayaknya anak pada umumnya terobati sewaktu Santi Rama mengadakan Pesantren Ramadhan. Kesejukan hati terpancar di raut wajahnya yang berseri-seri, setelah mengikut-sertakan putranya dalam kegiatan Pesantren Ramadhan. Apalagi setelah menyaksikan para santri Santi Rama mengenakan baju muslim. Di dalam hatinya ia bersukur:

“Terima kasih ya Allah, Engkau telah membuka jalan untuk anak-anak tunarungu mengenalMu sejak dini. Yang semula masih menjadi tanda tanya, sekarang terjawab sudah. Ternyata dulu saya katakan tidak mungkin sekarang menjadi serba mungkin”.



Demikianlah ungkapan rasa syukur seorang ayah, yang disampaikan dalam sambutan membuka kegiatan Pesantren Ramadhan tahun 2003 ini. Tentu saja disertai dengan harapan agar putra-putrinya akan menjadi lebih baik dalam beribadah dan bersikap sehari-hari. Sebagi contoh bagi anak yang sulit bangun untuk sahur menjadi mudah bangun, bagi anak yang belum biasa shalat berjamaah, menjadi terbiasa, bagi anak yang belum biasa berdo’a sebelum/sesudah makan, dan sebelum/setelah bangun tidur, jadi tahu cara mengerjakannya, anak yang belum biasa mengerjakan shalat tepat waktu menjadi terbiasa dan seterusnya.

Di samping itu karena anak bermalam di sekolah terpupuk pula sikap kemandirian-nya karena terpisah dari orangtuannya yaitu menjadi mampu mengurus keperluan diri sendiri seperti, mandi, merapikan tempat tidur dan sebagainya. Harapanya adalah agar apabila anak kembali ke rumah masing-masing mereka akan terus mene-rapkannya dalam kehidupan sehari-hari.


Gayung ber-sambut, harapan orangtua tersebut dapat tertampung dalam program kegiatan Pesantren Ramadhan. Kegia-tan ini bertujuan agar semua pe-serta mengerti mengenai apa saja yang semestinya dikerjakan seseorang yang sedang melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Pesantren ini dirancang dengan berbagai kegiatan yang menarik dan efektif bagi anak tunarungu. Semua pelajaran selalu diawali dengan suatu pengalaman bersama, di mana anak dapat merasakan, melihat dan mela-kukan/menjalani segala sesua-tunya bersama. Kemudian hal yang menjadi pengalaman bersama itu dipercakapkan sehingga mening-galkan kesan yang lebih mendalam dan tidak akan cepat dilupakan oleh anak. Hal itu sejalan dengan prinsip-prinsip pengajaran bahasa bagi anak tunarungu. Dengan demikian diharapkan bahwa hasilnya bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Kegiatan Pesantren Rama-dhan tahun ini dikemas sedikit berbeda dengan kegiatan tahun sebelumnya. Kegiatannya hadir cantik, karena materinya tidak hanya materi keagamaan saja, tetapi ditambah dengan

Bimbingan Pribadi Siswa, yaitu berupa Bimbingan Keluarga untuk siswa kelas I - IV, Bimbingan Bagi Remaja dan Pencegahan Bahaya Narkoba untuk kelas V - VIII. Kegiatan Bimbingan Pribadi ini diikuti oleh semua siswa Santi Rama (muslim dan non muslim), serta melibatkan semua guru. Hal ini dilakukan agar dalam waktu yang disediakan pada bulan Ramadhan ini, semua siswa dapat dibina agar memiliki sifat-sifat yang baik sehingga berbudi pekerti yang luhur. Dalam kegiatan Bimbingan Keluarga anak dibina agar santun dalam bergaul di keluarganya masing-masing yaitu santun dalam memperlakukan kedua orangtuanya dan saudara-nya. Dalam Bimbingan Remaja anak dibina guna mengenal perkembangan dirinya sendiri sebagai remaja, cara merawat dirinya, sopan santun dalam pergaulan dengan sesama dan sebagainya.

Dalam Bimbingan Bahaya Narkoba anak dibina agar bisa mengatakan “tidak” terhadap narkoba yaitu tidak mau mencobanya bila diberi, tidak mau membelinya, tidak mau mema-kainya karena tahu akan akibatnya yang berbahaya.

Dalam kegiatan pesantren anak-anak merasa senang karena sepanjang hari bisa bersama-sama dengan teman sesama tunarungu. Sebelum berbuka ada kultum yang berisi nasehat bagaimana cara berbuka yang sebenarnya, berdo’a bersama sebelum berbuka, cara makan yang sopan, selesai makan harus bagaimana, semua itu disampaikan lewat percakapan. Bila ada anak yang belum benar melakukan ibadah (berwudhu), langsung diberi contoh yang seharusnya. Mereka senang bisa shalat wardhu dan tarawih bersama-sama. Juga bisa mengaji di bawah bimbingan bapak dan ibu guru. Pada waktu makan sahur dibangunkan bersama-sama, diantar ke ruang makan bersama-sama, dan sesudah makan sahur diajak shalat Subuh berjamaah. Kalau mengantuk sesudah Subuh boleh tidur lagi. Anak laki-laki yang tidak ngantuk boleh main bola. Dengan jadwal yang ketat, secara tidak langsung displin anak dilatih juga.

Kegiatan Pesantren Rama-dhan diakhiri dengan Kegiatan Bhakti Sosial. Telah dipercakapkan di kelas-kelas beberapa waktu sebelumnya agar anak-anak mengumpulkan mie instan dan alat tulis, untuk disumbangkan kepada saudara-saudaranya yang kurang beruntung karena tekena gusur. Beberapa anak sebagai perwakilan dari kelas diajak langsung ke lokasi guna menyumbangkan barang-barang tersebut. Kegiatan ini diadakan guna memupuk empati yaitu, menumbuh suburkan sikap ingin berbagi rasa dengan orang lain yang kurang beruntung dan memupuk jiwa sosial antar sesama.

Siapa yang mengurusi konsumsi untuk kegiatan ini? Ada sekelompok ibu-ibu siswa-siswi kami yang selalu peduli dan setia serta bersedia untuk dengan ikhlas menyiapkan segala kebutuhan makan dan minum selama berlangsungnya kegiatan Pesan-tren Ramadhan, termasuk juga memikirkan uang lelah bagi para pembimbingnya.

Terima kasih semuanya semoga kebaikan mereka dibalas oleh Yang Maha Kuasa. Amiin!

sumber: http://santirama.sch.id/index.php?option=com_content&task=view&id=59&Itemid=79

Sentuhan Ibu

Sumber : Intisari (2006-02-17)

Jakarta, Rabu

Di balik kekurangan, terselip kelebihan. Di balik kesulitan, terbuka peluang.

Heru Bodro Yuwono, yang sejak lahir menderita cacat fisik, percaya betul bahwa derita tunarungu bawaannya bukan akhir hidupnya. Tak hanya hidup normal, Ia bahkan mampu meraih mimpi masa kecilnya, menjadi arsitek.

Sri Soelarmi membuka kamar anak bungsunya. Bocah berusia sembilan bulan kelahiran 3 September 1971 itu tampak asyik bermain di tempat tidur. “Mas Heru!” panggilnya. Namun, si bungsu seolah tak peduli. Ia tetap asyik dengan mainannya. Seringnya kejadian seperti itu membuat Soelarmi was-was. “Jangan-jangan airmatanya langsung menetes.

Dua dari tujuh anaknya menderita tunarungu. Apakah Heru juga bernasib sama?

Padahal, ketika lahir ia menangis keras. Lucu sekali melihat wajahnya yang bulat mengucapkan kata “mam” saat ingin makan, atau “mama” ketika memanggil ibunya. Bahkan, bila setiap pagi melepas ayahnya, Soenoe Hidigdo (almarhum) yang berdinas di Departemen Pendidikan & Kebudayaan, berangkat kerja, Heru mungil menggoyang tangan sambil berkata, “Dah!.

Kebahagiaan itu berakhir sewaktu dokter THT memvonis, Heru menderita tunarungu. Walau hatinya terguncang, Soelarmi sudah lebih siap, mengingat kedua anaknya terdahulu, Agus dan Nur, juga bernasib sama.

Bangun Percaya Diri

* “Saya sendiri tak tega mengatakan dirinya tunarungu,” sendu suara Soelarmi.

Namun semasa kecil, Heru sudah merasa dirinya amat berbeda dengan teman-teman sepermainannya. Agak sulit ia memahami perkataan teman-temannya sehingga, “Kami akhirnya sering menggunakan bahasa tubuh.”

Meski tiga anaknya menderita tunarungu, Soelarmi tak patah Semangat. Pasalnya, ia merasa anak-anaknya memiliki kecerdasan yang memadai. Ia bertekad memperjuangkan persamaan hak mereka dengan anak normal dalam bidang pendidikan.

“Saya akan arahkan mereka, agar kelak dapat mengandalkan kemampuan diri sendiri.”

Karenanya, Heru dan kedua kakaknya sejak dini dimasukkan ke TLO (Taman Latihan Observasi) Santi Rama di Cilandak, Jakarta, lalu meningkat ke SLB (Sekolah Luar Biasa) Santi Rama. Heru anak yang ramah, temannya banyak. Meski pendiam, ia bukan anak pemalu. Ia punya sejumlah teman dekat, yang sering diajaknya menginap di rumah bila libur.

Kebetulan, menurut Soelarmi, Heru bukan termasuk anak sulit. Selain tidak nakal, ia tergolong patuh dan disiplin. “Kalau ada keinginan yang tak dikabulkan, ia tak pernah ngambek atau marah-marah. Paling menangis, tapi tak ditunjukkannya,” kisah ibu yang menjual tanah keluarga di Tulungagung, kemudian pindah ke Balekambang, Condet, Jakarta Timur, itu. Bersama suami, ia ikut mendirikan SLB Frobel Montessori tahun 1982.

Di rumah, ibu lulusan SKP (Sekolah Kepandaian Putri) ini mendorong Heru agar selain menggunakan bahasa isyarat, juga belajar berbicara seperti orang biasa, “Supaya ia juga bisa berkomunikasi dengan orang normal.”

Sikap orangtua yang tak merasa malu memiliki anak tunarungu ikut membangun rasa percaya dirt Heru. Apalagi, “Setiap aku naik kelas, sama seperti anak-anak lainnya, Bapak dan Ibu selalu memberiku hadiah,” kenang Heru.

Berbeda dengan teori, bahwa fantasi anak tunarungu terbatas, pada Heru hal itu ternyata tidak berlaku. Imajinasinya kuat. Ia ekspresikan dalam hasil gambar yang cukup kuat. Oleh sebab itu, seraya mempertebal rasa percaya diri serta mengikis rasa ragu-ragu dan khawatir, Soelarmi mendorong Heru ikut lomba menggambar. Hasilnya sungguh manis. Di TLO Santi Rama, Heru menjadi juara I. Sedangkan di SLB Santi Rama, ia berhasil meraih posisi juara III.

Menggapai Cita-cita

* Usai Heru menyelesaikan pendidikan dasar di SLB Santi Rama, Soelarmi berkeras agar Heru melanjutkan pendidikan ke sekolah umum.

Kehendak ini agak berbeda dari suaminya yang menganggap anaknya cukup mengikuti les saja. Ia yakin, Heru tak sulit bersosialisasi laiknya anak normal. Heru sendiri menyambut baik keinginan ibunya.

Sri Soelarmi sendiri selalu mendampingi ketika si bungsu harus ikut tes masuk. Heru akhirnya diterima di SMP Santo Markus, Cililitan. Sehari-hari, ia tak merasa minder bergaul dengan teman-teman sebaya yang normal. Bahkan, karena impulsnya berkembang wajar seperti anak remaja lainnya, ia pun merasa tertarik pada lawan jenis. Tapi, sang ibu mengingatkan,
“Boleh pacaran kalau sudah selesai kuliah, dan boleh menikah sesudah bekerja. Jangan sampai cita-cita menjadi insinyur kandas di tengah jalan.”

Ketika melanjutkan sekolah menengah ke SMA Vianney Kebon Jeruk, Jakarta Barat, kegiatan sehari-hari Heni bukan hanya bersekolah. Soelarmi memacu Heru ikut les bahasa dan mata pelajaran di Santa Lusia, Cililitan. Selain itu, sejak SD ia aktif di Gerakan Pramuka, organisasi khusus penyandang tunarungu, serta di Mudika (Muda-mudi Katolik).

Langkah Heru untuk mencapai cita-cita makin menggelora. Ia tak terlalu sulit mencerna seluruh pelajaran di kelas. Bahkan sejak SMP ia sudah sangat menyukai pelajaran matematika. Tak heran nilai matematika di rapornya selalu tercetak angka 8. Kendala hanya terjadi ketika dia harus berkomunikasi dengan guru atau teman.

Terutama dalam pelajaran Bahasa Indonesia, “Aku sering salah tafsir dan salah jawab, karena aku kurang mengerti tata bahasa orang normal. Sejumlah kata bahkan terasa rumit sekali untuk dimengerti," aku Heru.

Untunglah, teman-temannya begitu terkesan akan sikapnya yang tak mudah patah semangat dan gemar membaca. Dengan senang hati, mereka mengajari remaja yang tim tarik tambangnya sejak SMP selalu meraih gelar juara I itu. Kalaupun komunikasi mentok, “Terpaksa kami menggunakan kertas, Komunikasi lewat tulisan itu kadang justru lebih efektif.”

Selepas SMA, pemuda yang selalu naik kendaraan umum ini sudah betul-betul mantap pada cita-citanya menjadi insinyur! Target itu seolah sudah menjadi harga mati yang tak bisa ditawar lagi. Ia kemudian mendaftarkan diri di Fakultas Teknik Universitas Trisakti jurusan Arsitektur. “Aku lulus tes masuk karena bisa menggambar botol Coca Cola seperti aslinya,” kenang Heru.

Bakat menggambarnya memang cukup menonjol. Itu sebabnya, dalam tugas kelompok, Heru biasanya kebagian tugas menggambar, sementara teman-temannya yang lain menjawab pertanyaan. Bisa dibayangkan betapa pentingnya peran kertas buat Heru. Selain bermanfaat untuk memecahkan kesenjangan dalam berkomunikasi, kertas juga memungkinkannya melampiaskan ekspresi dan fantasi lewat gambar.

Begitu gigihnya Heru, membuat banyak teman dan dosen jatuh simpati padanya. Di luar kampus pun Heru tetap berprestasi. Antara lain, menjadi juara III Lomba Abang-None Jakarta, khusus penyandang kelainan, di Balai Kota kantor Gubernur DKI Jaya, Desemher 1996. Di samping ditanyai tentang makanan khas Betawi, Yogyakarta, dan Sunda, “Wah, aku juga diminta joget Betawi, Heru senyum dikulum.

Hebatnya, keterbatasan fisik tak membuat Heru berpikir untuk memanjakan tubuhnya. Tahun 1997, ia ikut berlatih di Merpati Putih hingga mencapai tingkat Balik 2. Ia pun ikut aktif dalam pergerakan mahasiswa proreformasi. Dalam Peristiwa Trisakti Mei 1998, ia tampil sebagai relawan pemasok makanan. Untuk menghindari hujan tembakan, ia harus bersembunyi masuk selokan,

Akhirnya, tibalah mahasiswa istimewa ini di penghujung langkah. Gelar Sarjana Teknik ia peroleh pada 1999 dengan skripsi berjudul “Paroki dan Sarana Fisik Penunjangnya di Jakarta”. Sedangkan topiknya “Penerapan Simbolisme Kristiani pada Bangunan Gereja Katolik dan Gedung Paroki”. Skripsi ini mendapat nilai B (memuaskan).

“Mendengar” kebahagiaan

* Sudah mencapai” titik” puncakkah perjalanan Heru?

Ternyata belum sama sekali. Lulus kuliah, ia bekerja di SLB Santa Lusia di bagian komputer. Tiga tahun kemudian, ia pindah ke PT Mitra Muda. Walau pemiliknya kakak sendiri, Heru tetap bekerja keras, tak jarang harus lembur sampai malam. Ia bertugas menggambar desain rumah, ruko, dan sebagainya.

Heru merasa lingkungan selalu bersikap terbuka, memberinya kesempatan untuk mencapai apa yang juga bisa dicapai orang normal. Dulu, ia ingin sekali mengecap pendidikan tinggi. Lalu lingkungan membantunya hingga ia menjadi sarjana. Jika ia menyapa hangat, orang lain membalasnya dan mengajak mengobrol, walau sering salah tafsir, "Pengaruhnya jauhhh dan daleemmm banget,” akunya penuh perasaan.

Perasaannya memang halus. “Jika saya nasihati dengan kata-kata keras, ia langsung bersedih. Ketika Bapak meninggal dunia, ia juga sangat terpukul, kehilangan figur idealnya,” tutur Soelarmi.

Pernah, ketika ingin berlibur ke rumah kakaknya di Denpasar, ia ingin naik pesawat. lbunya melarang, karena baru ada pesawat jauh dan meminta banyak korban. “Tapi hidup mati ‘kan di tangan Yang Kuasa,” Heru bersikeras, Namun Soelarmi khawatir, jika dalam keadaan darurat Heru tak bisa mendengar instruksi kru pesawat. Karena kesal, ia bicara sambil membentak. Kelihatan ia sedih sekali. Akhirnya, ia pergi juga menggunakan jasa biro travel, dan saya bisa menitip pesan khusus ke sopirnya.”

Ada hal yang membuat pengagum tokoh komik Tintin ini merasa lengkap. Pada 2 Oktober 2002, ia menikahi Violina Oktarini Gunawan, penyandang tunarungu yang enam tahun lebih muda darinya. Vio, gadis cantik itu, menyempurnakan kebahagiaan Heru dengan memberinya seorang putra, Benedict Putra Yuwono, pada 4 Agustus 2003. Rumah mereka di Bekasi kini terasa riang oleh celoteh si mungil yang terlahir normal.

“Jika sudah punya modal dan kesempatan, aku ingin buka usaha sendiri dan membangun rumah dekat ibu, agar kami sekeluarga bisa berkumpul,” tulis Heru.

Soelarmi memang menjadi wanita yang sangat berarti buat Heru. Ditambah kehadiran anak dan istri, seolah tak pernah ada kebekuan dalam hidupnya. Di tengah kebisuan, ia seperti "mendengar"kebahagiaan memenuhi tiap ruang di rumahnya.

sumber:
(Kompas.com)Rabu, 02 Maret 2005, 10:04 WIB

http://santirama.sch.id/index.php?option=com_content&task=view&id=43&Itemid=79

Selasa, 27 April 2010

Ortu Siswa Tunanetra Minta Keringanan Seleksi Masuk SMA

Jakarta - 4 Orangtua siswa-siswi tunanetra mendaftarkan putra-putri mereka ke SMA 66 di Jalan Bangau, Cilandak, Jakarta Selatan. Selain mendaftar, mereka juga meminta anak-anaknya mendapat keringanan dalam mengikuti seleksi masuk. "Anak kami berempat ikut program inklusi tahun 2006 Dulunya anak kami sekolah di TK, SD, SMP di SLB Lebak Bulus tingkat nasional," ungkap Suparwi, orangtua salah satu siswa saat ditemui di SMA tersebut, Jumat (6/7/2007). Namun saat kelas tiga SMP, karena dinilai berprestasi, keempat siswa itu dipindahkan ke SMPN 226 Pondok Labu. "Jadi tentunya (perlakuan) antara tunanetra dan normal beda, apalagi anak kami baru 1 tahun mengikuti program inklusi di sekolah reguler. Yang normal saja kesulitan saat UN apalagi yang tunanetra," jelas Suparwi Suparwi mengaku sudah mendaftar ke SMA 54 Jatinegara, dan SMA 62 Kramatjati, Jakarta Timur. Namun di dua sekolah itu tidak ada tempat untuk anak tunanetra, sehingga satu-satunya harapan hanya di SMA 66 yang menyediakan program inklusi tunanetra dan tunarungu. Namun upaya keempat orangtua itu tampaknya sulit terwujud. Kepala Sekolah SMA 66 Maman Sumarwan mengatakan, pihaknya tidak memberikan pengecualian untuk anak tunanetra. "Kami membuka pintu selebar-lebarnya bagi siapa pun yang ingin mendaftar ke SMA 66, hanya tes masuknya harus sesuai aturan yang berlaku," tegas Maman. Maman menambahkan, selama 6 tahun sudah ada 36 siswa-siswi tunanetra dan tunarungu yang menuntut ilmu di sekolah tersebut. "Semuanya berprestasi baik. Untuk tahun ini saja ada satu lulusan, Dimas Prasetyo, yang mendapat peringkat kedua nilai NEM tertinggi. Dan satu siswa tunarungu dapat PMDK di ITB," beber dia. Diakui Maman, anak-anak tunanetra dan tunarungu ini memang istimewa. Namun sekolah tidak pernah memberikan pengecualian, termasuk bagi siswa yang sudah masuk ke sekolah tersebut di tahun sebelumnya. "Jadi baru tahun ini saja ada yang protes," katanya. Tahun 2006 lalu, patokan NEM tertinggi untuk siswa yang akan masuk ke SMA 66 ditetapkan 24,63. Sementara Kiagus Achmad dari LBH Jakarta yang mendampingi keempat orangtua murid itu mengaku pihaknya masih akan menunggu hingga 10 Juli, saat pengumuman daftar nilai terendah. "Kita tunggu, apakah mereka bisa masuk atau tidak," katanya.

sumber: http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/07/tgl/06/time/134634/idnews/801972/idkanal/10

Minggu, 25 April 2010

Lukman: Sebuah Potret dalam Paradigma Pertumbuhan

(Tulisan ini dibuat untuk anak-anak istimewa di Tetum yang punya cara belajar berbeda, teman-teman sekelas yang mau menerima mereka, dan orang tua yang dapat menjawab dengan bijak tentang kehadiran anak-anak itu)

Lukman memandang kura-kura di air mancur, sementara teman-temannya sedang mendengar Kak Ria mendongeng di teras kelas. Ketika Kak Aas memegang lengan Lukman dan mengajaknya bergabung dengan Kak Ria, Lukman berteriak,“Nggak!” Kak Aas terkejut. Hari itu, tanggal 23 Maret 2009, untuk pertama kalinya di sekolah Lukman mengeluarkan kata bantahan, “Nggak.” Di rumah dia sudah mengucapkan “Nggak” untuk pertama kalinya beberapa hari sebelumnya, yang membuat mamanya terkejut dan gembira.

Anak Indonesia pada umumnya dapat mengucapkan bentuk negatif (bukan-belum-jangan-nggak/ndak) pada usia dua tahun. Lukman untuk pertama kalinya memproduksi bentuk negatif beberapa hari setelah ulang tahunnya yang ke-4.

Lukman mengalami perkembangan pemerolehan bahasa yang lebih lambat daripada anak lain. Dia mengalami kesulitan untuk memberikan respon dan menerima makna yang diberikan oleh sekelilingnya. Lukman tidak mengalami kelainan organik. Struktur organ wicara dan pendengarannya baik (hanya saja dia cenderung hipersensitif terhadap suara – terkadang Lukman menutup telinga pada saat kegiatan menonton film). Lukman juga mempunyai kemampuan kognitif yang baik. Misalnya, ketika mamanya mengajarinya mengenali globe dengan mengatakan, “Lukman disini ni, di In Do Ne Sia,” Lukman meniru, “Indonesia.” Lalu ibunya menjelaskan di mana penguin, gajah, beruang kutub, dan dinosaurus. Ketika globe diputar lagi, Lukman dapat menyebutkan dengan tepat di mana letak hewan-hewan itu dan dirinya.

Meski memiliki kemampuan kognitif yang baik, karena masalah-masalah yang dimiliki Lukman, dia cenderung memperlihatkan perilaku yang tidak sesuai norma umum. Bila diajak dalam kegiatan kelompok, tak jarang dia menendang, mencubit dan menggigit Kak Aas atau kak Ria atau melempar setumpukan buku atau balok.

Secara bercanda saya katakan kepada mama Lukman bahwa saya ingin digigit Lukman, yang menandakan dia sudah nyaman mengekspresikan perasaan kepada saya. Memang, pada akhirnya Lukman melayangkan tangan kecilnya ke pipi saya ketika saya mendekatinya karena dia menendang seorang teman yang ingin ikut membaca bukunya. Jumat lalu pun dia beberapa kali mengepalkan tangan dan mendorong lengan saya, ketika saya mengingatkannya agar tidak duduk di ujung dinding perosotan.

Menurut Ibu Alzena Masykouri, psikolog yang memantau perkembangan Lukman, bahwa Lukman menunjukkan perilaku agresif dalam menunjukkan kemarahan, menunjukkan bahwa dia mengalami kemajuan dalam mengenali dan mengekspresikan emosinya. Hanya saja Lukman masih perlu berlatih untuk meregulasi emosinya dan menunjukkan emosi dengan cara yang adaptif.

Tantrum Lukman tak luput dari perhatian teman-temannya. Ibu Vina menulis kepada saya bahwa hampir setiap pulang sekolah Vina bertanya kenapa Lukman selalu marah-marah. Dengan bijak ibu Vina menjelaskan bahwa Lukman tidak sama dengan Vina dan teman-teman lain, jadi Vina harus memahami.
Tentu jawaban itu tidak memuaskan Vina. Dia pun bertanya lagi, “Lukman sakit apa?”

Ya, akan mudah menjelaskan kepada anak, bahkan kepada orang dewasa sekalipun, mengenai perbedaan yang nyata secara fisik. Kami pernah mengadakan sesi “Sehari Bersama Hegar” untuk menjelaskan kondisi Hegar yang perlu memakai alat bantu dengar. Bunda Hegar menjelaskan kepada anak-anak tentang riwayat Hegar sejak di kandungan dan mengapa Hegar sampai memakai alat yang ditanamkan di kepalanya. Acara itu berakhir dengan permainan tikus kucing yang digemari anak-anak Tetum, dengan Hegar sebagai tikus dikejar oleh Rayi sebagai kucing.

Acara itu sebetulnya merupakan “pengesahan MoU” antara kami, orang dewasa –sekolah dan orang tua Hegar—mengenai apa yang akan kami lakukan terhadap Hegar. Bagi teman sekelasnya, acara itu merupakan pengenalan terhadap alat bantu dengar Hegar, kebutuhan Hegar akan alat itu dan bahwa mereka harus ikut menjaganya. Secara sosial, tanpa acara itu mereka sudah menerima Hegar, dan Hegar pun menjadi bagian dari mereka. Tanpa bahasa verbal, mereka melakukan komunikasi dan menjalani kegembiraan tanpa hambatan. Hegar adalah anak yang penuh percaya diri dan memiliki kemampuan kognitif dan sosial yang baik.

Berbeda dengan anak-anak yang tidak secara nyata memiliki perbedaan, apalagi yang memiliki hambatan melakukan interaksi sosial. Yang tampak di mata anak-anak dan orang tua –ketika menjadi visiting parents atau menjemput—adalah adanya seorang anak senang berjalan-jalan di halaman, tidak mau masuk kelas, dan kerap agresif.

Kami tahu ada tanya dalam pandangan orang tua ketika melihat Lukman, namun secara etika kami tidak bisa menjelaskan kondisi seorang anak kepada orang tua lain. Kami hanya dapat meyakinkan –secara tak langsung—bahwa kehadiran seorang anak berkebutuhan khusus tidak membuat putra-putri mereka menjadi terabaikan.

Karena surat ibu Vina, saya pun mengajak mama Lukman untuk membuka diri dengan kehadiran anak-anak berkebutuhan khusus di Tetum, dimulai dari Lukman. Sebuah keterbukaan dapat mengajak orang tua untuk mempersepsi anak berkebutuhan khusus dalam paradigma pertumbuhan (growth paradigm), bukan paradigma defisit/kekurangan (deficit paradigm). Dalam paradigma pertumbuhan itu kita mempersepsi bahwa seorang anak berkebutuhan khusus adalah individu dengan cara belajar berbeda, bukan seseorang yang memiliki defisit kemampuan sehingga dia menjadi tidak bisa melakukan hal yang dilakukan mainstream. Orang di sekelilingnya –terutama orang tua dan guru– perlu membantunya agar dia dapat mengembangkan potensinya.

Cobalah kita telaah ketika Lukman berkeliling-keliling di halaman dan membuang muka dan menendang sewaktu diajak Kak Aas ke kelas. Dari segi pemahaman bahasa, tampaknya Lukman sudah memahami ajakan, “Ayo, Lukman ke kelas.” Ini terlihat dari reaksinya dengan membuang dan menendang. Apakah sungguh Lukman paham? Ya, bila dilihat dari kebiasaannya meninggalkan crowd (kelompok teman-temannya) dan keengganannya berada di kelas kecuali bila di kelas ada benda yang jadi fokus perhatiannya, misalnya, buku. Jadi, ketika berada di dalam kelas, Lukman tidak terlibat dalam kegiatan kelas. Bila ditegur, dia akan bereaksi keras. Reaksi keras itu menunjukkan bahwa Lukman masih perlu belajar dalam berekspresi. Masalahnya tak hanya terkait dengan produksi bahasa (dapat menyampaikan penolakan dengan manis), tapi juga masalah yang terkait dengan gangguan komunikasi, yaitu resistensi terhadap perubahan dan kecenderungannya pada kerutinan, interaksi sosial, pengaturan (organizing) dan keteralihan.

Lukman akan lebih bisa kooperatif bila resistensi terhadap perubahan berkurang. Dia menjadi stres bila keasyikannya saat menekuni suatu hal diputus (sedang mengamati kura-kura-kura, diajak ke kelas). Bila Lukman memiliki kebutuhan untuk interaksi sosial, dia juga akan kooperatif melakukan kegiatan bersama teman, baik di dalam maupun di luar kelas. Interaksi sosial ini tidak hanya berada di dalam suatu ruang bersama-sama, tetapi terjadi pertukaran komunikasi verbal maupun nonverbal. Lukman perlu stimuli untuk mengoptimalkan perkembangannya dengan terapi sensori integrasi di suatu klinik, di rumah dan di sekolah.

Menyekolahkan Lukman di sekolah umum merupakan bagian dari paradigma pertumbuhan: mempersepsi dia bahwa dia memiliki cara belajar berbeda dan berpotensi untuk berkembang. Persepsi ini harus dimiliki oleh orang-orang di sekelilingnya, sebagai wujud pengabdian kita terhadap Tuhan yang telah menciptakan manusia secara berbeda-beda. Bukan keinginan Lukman untuk menjadi seperti itu, bukan pula pilihan orang tuanya untuk memiliki anak yang pada awalnya seolah tak membutuhkan orang-orang di sekelilingnya.

Dari kasus Lukman kita malah jadi belajar menghargai anugrah Tuhan yang begitu berharga: kemampuan mengekspresikan diri. Mama Lukman dengan rajin mencatat perkembangan Lukman dari satu langkah ke langkah lain. Misalnya, ketika Lukman berebut Mama dengan Reza kakaknya; ketika mengamati bahwa spanduk Tetum yang dipasang di jalanan depan rumahnya tidak ada (“Ya, Tetum hilang”); ketika Lukman berpapasan dengan Sari, teman sekelasnya, dan mengatakan, “Hai tunggu”; atau ketika pertama kali minta tolong (“Mama tolong pasang Tupi ya Ping-Ping”). Saya pun jadi GR ketika kemarin bersalaman dengan Lukman, dan dia berpikir sejenak sebelum akhirnya mengucapkan, “Kak Endah.” Itu adalah pertama kali Lukman menyebut nama saya, berkat stimulasi yang diberikan ibunya.

Membesarkan Lukman menjadi hari-hari yang penuh tantangan bagi orang tua Lukman. Mereka dengan jujur mengakui tidak mudah. Memahami masalah Lukman adalah sebuah PR besar, dan mengatasi pergulatan diri adalah proses belajar yang lain. Ini komentar Mama Lukman tentang ajakan saya untuk membuka diri kepada orang tua teman-teman anaknya: Monggo kak Endah, silakan ditulis. Saya pun ingin tahu bagaimana reaksi orang tua yang lain. Ini adalah suatu tahapan yang harus kami lalui di mana pun Lukman bersosialisai. Mungkin ada yang mendukung, mungkin ada yang tidak memahami dan memandang perbedaan tersebut seharusnya tidak perlu. Bukan sekali dua kali orang tua di milis anak berkebutuhan khusus yang saya ikuti mengeluh dan menangis karena masalah ini. Jadi kami pribadi sudah cukup tahu, dan mudah-mudahan cukup siap dengan reaksi para orang tua lain…

(Ditulis di Notes FB Sekolah Tetum, 18 Mei, 2009)


sumber: http://endah.sekolahtetum.org/?p=11

Belajar Dari Si Kecil Yang Autis

Belum lama ini, saya membongkar file-file yang ada di MP4 yang selama ini saya gunakan. Sudah cukup banyak file rekaman suara yang saya simpan di sini.

ukan rekaman suara saya saat bernyanyi tapi suara rekaman wawancara saya dengan beberapa narasumber terkait klien yang sedang ditangani. Sebagian besar saya putar ulang tapi tidak sampai selesai. Beberapa rekaman yang sudah tidak diperlukan lagi segera saya delete agar tidak menambah penuh kapasitas.

Saya terdiam lama ketika mendengarkan sebuah rekaman hasil wawancara saya dengan seorang guru SD di sekolah inklusif sekitar awal tahun 2009. Seorang perempuan paruh baya yang menangani murid kelas satu sebanyak 42 orang dengan tiga orang anak autis di dalamnya. Tanpa guru pendamping atau guru berkebutuhan khusus yang bisa hadir setiap harinya. Kesan saya untuknya: ia begitu menikmati pekerjaannya sebagai pendidik.

Sebelumnya, saya menghampiri Erzam, anak laki-laki berkebutuhan khusus yang didiagnosa autis. Usianya sudah 8 tahun, tapi masih duduk di kelas 1. Tubuhnya kecil, bola matanya selalu bergerak dan tidak fokus, rambutnya tegak lurus, dan kulitnya kering.

Saya mencoba menarik perhatiannya, tapi tentu bukan hal yang mudah untuk menghadapi anak autis, terutama saya yang memang jarang berhadapan dengan kasus autis. Erzam sibuk mengusap-ngusap hidungnya, bertepuk tangan, dan tak menghiraukan teman-teman di sekelilingnya. Saya menyapanya, tapi lagi-lagi saya dicuekin.

Pelan, saya memegang tangannya, tapi masih tetap belum ada respon. Seorang teman kelas Erzam menyodorkan buku dan pensil kepunyaan Erzam pada saya. “Ini, Bu, punyanya Ejam,”, begitu ucap si anak. Saya mengambil pensil dan mencoba menggenggamkannya di tangan Erzam.

Ia mengambil pensil itu lalu memutar-mutar pensil itu di ujung tangannya. Saya menuntun tangannya untuk menuliskan sesuatu sambil bergumam, “Ayo, coba kita nulis nama Erzam yuk..” Tapi hanya beberapa saat, Erzam kembali tidak fokus dan berulang-ulang mengusap hidungnya. Kemudian ia bergumam sendiri, lalu bertepuk tangan.

Tanpa saya sadari, ada butiran hangat menyergap bola mata saya. Tak kuasa saya membayangkan perasaan orang tua yang memiliki anak dengan diagnosa autis, betapa mereka melakukan banyak perjuangan untuk dapat membesarkan dan merawat anaknya.

Haru saya kembali bertumpuk saat berbincang dengan guru kelas Erzam. Betapa seorang anak yang disebut autis menjadi sosok yang menyenangkan bagi guru dan teman-temannya.

“kalau kita bernyanyi di kelas, saya selalu panggil nama Erzam dan minta teman-temannya bertepuk tangan untuknya. Erzam kelihatan senang sekali dan langsung maju ke depan kelas. Anaknya baik, tidak suka mengganggu temannya, tapi saya yang tidak punya waktu untuk memberikan perhatian khusus padanya dari sekian murid saya di kelas ini. ingin sekali saya memberikan perhatian lebih.”

“Apakah teman-teman senang dan bisa menerima kehadiran Erzam, bu?” Tanya itu saya sampaikan mengingat erzam adalah anak berkebutuhan khusus dan belum tentu dapat berkomunikasi dengan baik kepada teman-temannya.

“Oh, teman-temannya senang dengan Erzam, karena dia baik. Walaupun duduk di belakang, tapi tidak ada teman yang menjauhinya. Meskipun memang tidak bisa bermain bersama, tapi anak-anak bisa menerima Erzam.” Saya mengakui hal itu sejak saya lihat beberapa teman Erzam sibuk mencarikan buku dan pensil di dalam tas Erzam saat saya mencarinya. Saya mempercayainya ketika beberapa anak laki-laki dengan lembutnya menyapa pundak dan pipi Erzam sambil tersenyum.

Ibu guru itu melanjutkan ceritanya. “Erzam sebenarnya memiliki kemampuan intelegensi yang baik. Ia bisa menghafal sesuatu dengan cepat bahkan lebih baik dibandingkan teman sekelasnya yang masih belum bisa membaca.” Saat istirahat, saya balik menghampiri Erzam yang berkumpul bersama pengasuh dan adiknya di luar kelas.

Adiknya justru sudah duduk di kelas 2 saat ini. beberapa ibu orang tua murid kelas 1 juga sedang berkumpul sambil menyuapkan makanan pada anaknya. Saya pun ikut duduk melantai bersama mereka. Rupanya ibu-ibu itu senang mencandai Erzam. Mereka bertanya tentang hafalan Erzam dalam kosakata bahasa inggris.

“Erzam mah anaknya pintar, cuma susah aja diajak komunikasi. Dia mah bacanya udah lancar, anak saya masih susah bacanya.” Seorang ibu mengagumi Erzam sambil tersenyum. Ibu-ibu lain cuma tersenyum dan menyapa Erzam.

Dalam hati, saya menghargai orang tua yang sudah dapat menerima sistem inklusif di sekolah, dimana anak-anak mereka yang normal memiliki teman sekelas yang berkebutuhan khusus dan mungkin sedikit berbeda dengan mereka. Karena di luar sana, ada banyak orang tua yang enggan jika anaknya digabungkan dengan anak berkebutuhan khusus seperti autis.

Saya sempat menyeletuk pada Rio, adik Erzam yang kini lebih dulu duduk di kelas 2. “Rio sayang ngga sama kak Erzam?”. Rio menggangguk dan berkata “sayang…” sambil sedikit tersenyum dan mengusap kepala kakaknya. Lagi-lagi hati saya bergemuruh mendengar komentar polos itu.


Wah, saya bahkan masih ingat detil kejadian hari itu, dimana saya mendapat banyak pelajaran dari seorang anak kecil yang didiagnosa autis. Anak yang begitu sulit untuk menjalin komunikasi dengan orang lain, dapat menjadi sosok yang menyenangkan bagi gurunya, teman yang diterima bagi sebayanya, dan disayang oleh adiknya. Betapa keterbatasan yang ia miliki tak mengurangi kuantitas bahagia yang dapat ia bagi kepada orang lain.

Semua orang tumbuh dan berkembang dengan cara yang berbeda dan adalah menjadi tidak tepat bagi kita untuk memaksakan orang lain bersikap, berbuat, dan menilai sesuatu seperti apa yang kita lakukan. Layaknya Erzam, mungkin ia tidak dapat mengikuti ritme kehidupan sosial seperti teman sebayanya, tapi ia punya cara sendiri untuk dicintai orang lain dan melengkungkan senyum bagi orang-orang di sekitarnya.

Kita pun berhak punya cara sendiri untuk menjalani hidup ini dan tentunya tidak perlu egois untuk berharap bahwa orang pun akan berbuat sama seperti kita. Ada banyak cara untuk menjadi bahagia, sama seperti halnya ada banyak cara untuk menjadi bermanfaat bagi orang lain.

Saya memutuskan untuk tetap menyimpan rekaman wawancara tentang Erzam di MP4 itu. Suatu hari mungkin saya butuh untuk mendengar ulang rekaman itu lagi, supaya saya tetap bisa ingat bahwa kita harus belajar menerima diri kita dan orang lain apa adanya.

oleh: Hayati Rahmah

sumber: http://www.eramuslim.com/oase-iman/cetak/belajar-dari-si-kecil-yang-autis

PENDIDIKAN UNTUK PENYANDANG AUTISMA

”Ketika saya ingin menyekolahkan Ivan ke sekolah dasar, banyak sekolah yang tidak mau menerima. Bahkan banyak teman Ivan semasa di TK tidak jadi masuk ke sekolah tersebut karena tahu Ivan mendaftar.” Itulah duka Hety Kamiyati Purwaasih (36), ibu dari Moch Lutfansyah Naurambia (7), peyandang autisma.

Pertanyaan ke mana penyandang autisma harus bersekolah---di sekolah umum atau sekolah khusus---sungguh amat menarik karena hingga kini masih membingungkan. Pemerintah memang menetapkan bahwa semua sekolah umum sebaiknya memberikan kesempatan kepada anak-anak berkebutuhan khusus untuk belajar di lembaga pendidikan mana pun. Namun, pada praktiknya lebih banyak sekolah yang menolak mendidik anak-anak autis dengan berbagai alasan. Itu pula yang dialami Irwan Wibowo (34), orangtua dari Arbiyo (4) penyandang autis. "Bilapun ada sekolah yang menerima anak autis, banyak guru yang belum sigap menangani mereka. Padahal, para penyandang autisma rawan menerima cemoohan atau kekerasan fisik dari murid-murid lain. Namun, umumnya para orangtua tak berani mengeluh karena takut anaknya malah dikeluarkan dari sekolah. Belum lagi, dengan alasan ‘butuh penanganan khusus’, sering kali pihak sekolah umum mengenakan uang pangkal dan uang sekolah yang lebih tinggi. Bahkan ada beberapa sekolah yang meminta orangtua membawa dan membayar sendiri guru pendamping (shadow aid) untuk anaknya yang dimasukkan ke sekolah tersebut. Orangtua jadi seperti ’korban’ sudah jatuh tertimpa tangga," keluh Irwan.

Hety melontarkan cerita yang tak jauh berbeda. "Saya memiliki anak peyandang autisma. Meskipun tidak terlalu berat, cukup sulit baginya untuk bersekolah di sekolah umum. Salah satu kesulitannya adalah berbaur dengan anak lain. Pernah suatu kali saya memasukkannya ke TK umum karena berharap ia bisa mengikuti perkembangan anak lainnya. Tapi gangguan autisma yang ia sandang malah menimbulkan protes dari beberapa orangtua murid karena anak saya sering berulah di kelas. Terkadang ia lari-larian, berteriak-teriak, dan sulit diam sehingga proses belajar jadi terganggu. Masalah tidak hanya di situ, ketika saya ingin menyekolahkan Ivan ke sekolah dasar, banyak sekolah yang tidak mau menerima. Banyak teman Ivan semasa di TK tidak jadi masuk ke sekolah tersebut karena Ivan mendaftar di situ. Tidak mau bermasalah, saya pun mencari sekolah lain. Saya yakinkan pihak sekolahnya jika Ivan bisa bersekolah di sana. Namun hasilnya nihil, Ivan tetap tidak bisa diterima. Alhamdulillah, kemudian saya menemukan sekolah umum yang bisa menerima anak penyandang autis. Meskipun biayanya cukup mahal, saya tidak peduli. Yang penting Ivan bisa bersekolah. Syukurlah, dengan penanganan yang baik di sekolah ini akhirnya Ivan bisa berkembang mendekati anak normal".


sumber: http://www.tabloid-nakita.com/Khasanah/khasanah09473-01.htm

Rumah Belajar : Terapi Efektif untuk Si "Special Needs"

Memiliki anak yang berkebutuhan khusus tidak perlu menjadikan Anda sedih, susah dan hilang harapan pada buah hati. Mereka sebenarnya memiliki potensi dan bakat terpendam yang harus digali lebih dalam. Rumah Belajar yang berdiri sejak November 2008 ini, mengajak setiap orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus untuk bergabung dan mengikuti terapi-terapi yang ada. Selain itu, di Rumah Belajar juga tersedia kursus melukis yang diajarkan oleh Alianto, seorang pelukis pendidik yang mengembangkan penguasaan seni lukis dan didaktika secara otodidak.

Sedangkan untuk anak-anak berkebutuhan khusus, salah satu terapinya adalah terapi wicara yang diajarkan oleh Itasari Atitungga sebagai Speech Therapist di Rumah Belajar. Ita mengatakan bahwa dalam terapi wicara ini, ia mengajarkan tentang artikulasi, bahasa, intonasi suara dan melatih anak untuk belajar berkonsentrasi serta mengontrol emosi. Sedangkan metode yang digunakan setiap tahap berbeda-beda.

Terapi Anak-anak Berkebutuhan Khusus
Dalam menerapkan terapi wicara ini, beberapa metode yang digunakan seperti; metode artikulasi, anak akan diajarkan untuk menggunakan lidahnya dalam menyebutkan huruf-huruf. Bahkan Ita seringkali meminta anak asuhannya untuk belajar menjilat di piring agar kelenturan lidah itu sendiri terlatih dengan baik. Untuk metode bahasa, Ita menerapkannya dalam bentuk bermain drama atau bermain pura-pura, biasanya ini sering disebut sebagai modeling. Masih dalam metode bahasa, Ita pun mengajarkan anak-anak di Rumah Belajar untuk berbicara tentang dirinya sendiri (self talk) dan bercerita (storytelling).

Sedangkan metode suara, termasuk di dalamnya anak-anak yang bersuara bindeng, serak, dan gangguan pita suara. Menurut Ita, untuk gangguan pita suara ini kebanyakan anak-anak baik yang berkebutuhan khusus atau bukan, biasanya gangguan yang diderita setelah operasi. Jadi, untuk memudahkan kembali berbicara dengan normal, Ita akan mengajarkannya.

Yang paling menarik adalah dalam metode irama kelancaran. Untuk metode ini biasanya digunakan pada anak-anak yang gagap, bicara terlalu cepat (clutter), dan berbicara terlalu lambat. Metode ini bisa juga dipakai untuk orang dewasa yang sering latah dalam berbicara.

”Untuk bicara gagap, dipakai terapi ketukan atau cara tunda. Caranya dengan mengambil nafas lalu hitung 1-3, baru mulai bicara perlahan. Misalnya sa..sa..saya, ma..ma..u, ma..ma..kan. Setelah beberapa kali, kemudian ketukannya dipercepat sedikit. Sampai si anak bisa berbicara tidak gagap lagi meskipun masih harus dibimbing. Untuk melatih ini, peran orangtua di rumah sangat penting. Karena jika hanya di tempat terapi saja latihan, di rumah tidak. Menurut saya percuma saja,” terang Ita.

Melatih Konsentrasi dan Emosi
Ada lagi metode tambahan dalam terapi wicara, yaitu Brain Gym yang tujuannya melatih konsentrasi dan emosi anak saat menjalani terapi. Biasanya di tengah-tengah terapi, anak sering mudah tantrum. Oleh karena itu, Brain Gym melalui Ritme Movement Training (RMT) menjadi efektif. Menurut Ita, dari Brain Gym ini tujuannya untuk memperbaiki gerakan-gerakan refleks anak, mengaktifkan kembali otak kanan dan kiri, serta menenangkan anak supaya siap untuk diterapi kembali. Brain Gym ini hanya dilakukan 15 menit bahkan lebih sesuai kebutuhan dan kondisi si anak.

“Pada dasarnya terapi wicara ini bertujuan melatih komponen-komponen berkomunikasi, termasuk di dalamnya berbahasa dan berbicara pada anak berkebutuhan khusus. Melalui Rumah Belajar ini, saya ingin membantu berbagai macam anak dengan kasusnya , supaya mereka bisa sukses,” tutur Ita.

sumber: http://www.parentsguide.co.id/dsp_content.php?kat=2&pg=cns&emonth=08&eyear=2009&page=2&gp&page=3&gp&page=1&gpage=1

Mengenang Rosita Si Gadis Mungil yang Luar Biasa

Pada suatu saat ada percakapan antara murid dengan seorang Guru, yang sedang mengajarkan prinsip-prinsip kehidupan kepada murid-murid. Para murid diperlihatkan seorang yang buta sejak lahirnya. Apa komentar para murid itu. "Guru, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta ?

Coba cermati..., pertanyaan itu terasa konyol barangkali...atau memang seperti itulah manusia yang sedang menghadapi masalah "kecacatan"? Kecacatan dihubungkan dengan Dosa...!?

Tetapi nampaknya...begitu ya...kecacatan seringkali di hubung-hubungkan dengan dosa...,dan hal seperti itu selalu ada di sepanjang sejarah manusia.

Konon, pertanyaan atau hipotesa itu muncul, karena manusia tidak bisa memberi jawab, kenapa ada manusia yang terlahir cacat !!

Apa jawab sang Guru terhadap pertanyaan para murid : "Bukan dia (si penyandang cacat) dan bukan juga orangtuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Tuhan harus dinyatakan di dalam dia (si penyandang cacat). Apa maksud guru itu sih...?!..begitu istimewanyakah mereka, sehingga mereka dipakai untuk pekerjaan-pekerjaan Tuhan..? Pekerjaan Tuhan macam apakah yang hendak dinyatakan lewat dia...? Kira-kira begitulah para murid itu bertanya-tanya dalam batinnya.

Perenungan yang mendalam hari ini kutemukan ....yaitu...JANGAN BATASI PEKERJAAN TUHAN.

Seringkali manusia terjebak pada "label", dia tidak bisa seperti ini, dia cantik , dia jelek...bahkan muncul juga dia "CACAT". Bukankah ketika kita memberi "label" kepada Tuhan kita sedang membatasi pekerjaan Tuhan.

Inilah label yang sering kita berikan kepada para penyandang cacat :

Orang buta (tuna netra) tidak bisa melihat, (Siapa bilang si buta tidak bisa melihat ?)

Orang tuli (tuna rungu) tidak bisa mendengar (Siapa bilang si tuli tidak bisa mendengar ?)

Orang lumpuh (tuna daksa) tidak bisa berjalan (Siapa bilang si lumpuh tidak bisa berjalan ?)

Si Retardasi menta (tuna grahita) selalul bodoh (Siapa bilang si retardasi mental selalu bodoh ?)

Mari kita lihat dan cermati..

Perhatikan tuna netra yang terampil menggunakan tongkat dan tangannya, apakah kita pernah melihat mereka terjatuh tersandung batu? Bukankah mereka melihat ?

Coba lihatlah para tuna rungu yang bisa terbahak-bahak tertawa, ketika membaca tulisan awas dan juga membaca bibir kita (lipsing), merekapun merespon percakapan kita...Bukankah mereka mendengar?

Lihatlah para penyandang tuna daksa yang bisa naik motor modifikasi, bisa menjelajah kemana-mana, bahkan konon ada yang pernah menjelajah ke seluruh Indonesia...Bukankah mereka bisa berjalan ?

Si tuna grahita yang seringkali di olok-olok anak-anak, coba lihat, setiap kali dia diberikan tugas yang mampu di kerjakannya, selalu dilakukannya tanpa berbantah-bantah...apakah anak-anak "normal" bisa melakukannya tanpa berbantah? Habis makan cuci piring...bisakah anak "normal" melakukannya tanpa berbantah ria..? Bukankah mereka bukan anak yang bodoh ?

Tuhan menyatakan pekerjaan yang luar biasa untuk mereka, tangan,kaki dan indera lainnya, dapat dipakainya untuk meRosita_Weblihat...!

Seringkali orang memberi label bahwa melihat harus pakai mata, tapi lihatlah.pekerjaan Tuhan melalui mereka, bahwa "melihat" itu tidak harus pakai mata, tapi dapat menggunakan indera lainnya...

Mari kita perluas cara pandang kita...dengan tidak pernah membatasi pekerjaan Tuhan dalam kehidupan kita.

Rosita telah mebuktikan hal itu...!!! di masa hidupnya yang hanya 13 tahun...Tuhan telah memampukan dia dan keluarganya untuk menyaksikan pekerjaanNya...artikel tentang Rosita silahkan visit di www.rawinala.or.id

Dipersembahkan untuk ROSITA HILDANAULI PANGGABEAN (alm) yang telah meninggalkan kita dan yang harus menyelesaikan TUGASnya....untuk memberi makna pada setiap orang bahwa kecacatan bukan penderitaan..melainkan perbedaan dan keberagaman.

With love : Sigid Widodo.


sumber: http://rawinala.or.id/mengenang-rosita-si-gadis-mungil-yang-luar-biasa.html

Mereka Juga Berharga

Ya...mereka yang "rapuh" seperti Armando memang seringkali begitu mudah terlihat...tapi tak didengar...

Hari ini, sekali lagi aku kembali ikut merasakan dan belajar lagi bersama Armando, bagaimana harus hidup dalam sebuah "kerapuhan"...

karena selama ini aku telah bergabung dan berjalan bersama Armando sebagai sebuah kesatuan meski kami masing2 punya pribadi dan

cerita2 sendiri yang unik...

Aah...kerapuhan yang menyerang tubuh ternyata dapat juga menyerang jiwa... meyerang dan meruntuhkan kualitas sebuah kehidupan...

Pandangan orang mengenai kehidupan Armando yang rapuh, untuk bisa hidup "normal" dalam dunia yang "normal" selalu saja mendapatkan tantangan...

karena dalam mata banyak orang, seringkali Armando dianggap identik dengan kerapuhan itu sendiri.

Mereka yang pernah "terpukul" seperti ini tahu bagaimana frustrasinya di-marginalkan, dijauhi dan disingkirkan oleh sikap2 dingin seperti itu...

Kami seringkali hanya diberikan sekeranjang keraguan mengenai kemampuan kami, pilihan2 langkah hidup kami...

dan sering, krisis kepercayaan yang kerap menyertainya bisa menular, menjalar ke seluruh bagian dari diri kami dan membuat kami bertanya mengenai apa arti keberadaan kami...

Ternyata, dengan tubuh yang "rapuh", seluruh sendi kehidupan jadi dipertanyakan...

dari kemampuan untuk berkarya sampai kemampuan untuk bisa membangun sebuah hubungan dengan orang lain...

Kadang kami terjerembab jauh ke bawah, dan kami kehilangan kendali...

Akan tetapi, kami tetap mencoba berjalan...

bahkan, seringkali harus dengan melipat gandakan usaha kami....

karena...apa lagi pilihan kami?

Dalam perjalanan pulang, Armando berulang kali memberikan bahasa isyarat "boy" dan "girl" padaku....

Rupanya ia bingung dan bertanya mengapa ia tidak jadi bermain dengan anak2 yang berada di tempat yang baru saja kami tinggalkan itu...

Kucoba menahan gejolak di hati dan memohon padaNya untuk sekali lagi menguatkan kami...

karena bagaimana kami akan bisa menemukan jalan dan kekuatan untuk bisa berdiri lagi dan melanjutkan perjalanan tetap adalah sebuah misteri bagiku...

karena pada akhirnya, bagaimanapun banyaknya orang yang berada di sekeliling kami, kami harus berjalan sendirian...

Teman-teman kami dan orang2 yang kami cintai memang ada di dekat kami, memberikan kasih dan dukungan.

Akan tetapi, keberanian untuk mau terus melangkah tetap harus datang dari dalam diri kami sendiri...

Ya...Armando memang tak bisa berbicara.

Namun, ia tidak serapuh yang sering dibayangkan banyak orang...

Sekali-kali cobalah untuk mendengarkan suara hatinya...

Senandungnya memang sering terdengar lembut dan seakan ia sedang bernyanyi untuk dirinya sendiri...

Tapi, bila kita memilih untuk mau mendengarkan, ia sebenarnya sedang bernyanyi untuk kita juga....

Sungguh... ia sering berbicara...

dengan suara yang seringkali tak didengar...

Begitulah sepenggal tulisan Irma Koswara...dari “Sepotong Catatan Harianku”, ibunda dari Armando seorang anak penyandang “Cerebral Palsy” (kerusakan jaringan otak sejak lahir), sehingga dia tidak bisa berjalan seperti biasa, tidak bisa bicara, sering melakukan gerakan tiba-tiba dan tidak beraturan...begitu kira-kira diskripsi tentang dia. Namun di usianya yang ke 13, kemampuan yang dicapai sungguh “luar biasa”, buat orang lain hal ini biasa, tapi buat mereka yang punya kebutuhan khusus, hal itu dapat dicapai dari serangkaian proses yang tidak ringan. Saat ini, dia bisa mengoperasikan beberapa program komputer dengan sedikit bantuan. Hal ini sungguh sulit dibayangkan, karena anak semacam ini biasanya seringkali membuat gerakan-gerakan motorik yang tidak beraturan dan tidak terkendali, tetapi begitu dia memegang “tuts keyboard”, dia mampu mengoperasikannya dengan lembut dan terkendali. Dia juga bisa “berkomunikasi” melalui sarana ini, main berbagai macam “games”, dapat mengetik namanya sendiri, dan beberapa kata-kata yang familiar baginya. Selain itu, dia juga sudah mulai menguasai beberapa kata dengan menggunakan bahasa isyarat, dan tidak tanggung-tanggung, bahasa isyaratnya dengan bahasa Inggris.

Wah, bagaiman mungkin dia punya kemampuan seperti itu? Jawabannya adalah pada kekuatan doa dan ketekunan SEORANG IBU. Naluri keibuannya, telah membawa Armando pada tingkat kemampuan itu. Dia lakukan proses itu “sendirian”, karena Armando tidak mendapatkan layanan optimal dari sebuah lembaga pendidikan luar biasa sekalipun !!, ironis memang tapi itulah kenyataannya. Akhirnya dengan belajar dari “dunia maya” (internet), Irma mencari pengetahuan tentang bagaimana mendidik anak seperti Armando. Dia kumpulkan segala macam artikel itu, dan langsung diuji cobakan. Jatuh bangun memang, tapi dia lakukan dengan tekun, padahal dia tidak punya latar belakang pendidikan luar biasa (PLB). Ada banyak modifikasi dan percobaan yang dilakukannya dalam mendidik Armando.

Tulisan tersebut diatas merupakan “ekspresi feeling”nya, karena Armando tidak mendapatkan kesempatan untuk bersama dengan anak-anak sebayanya di sebuah lembaga sekolah. Sebenarnya tidak untuk selamanya, karena kepentingannya adalah supaya Armando dapat berinteraksi dengan teman sebayanya, dan itupun semacam “anak bawang” di sekolah tersebut. Tapi apa jawab pimpinan lembaga tersebut : "Ibu harus lebih realistis dalam memberikan apa yang dibutuhkan Armando. Mengapa tidak membawa Armando ke tempat anak2 yang sama sepertinya saja? Saya hanya takut dia tidak akan mampu beradaptasi di sini. Bagaimana dia akan bisa berinteraksi dengan anak-anak lainnya di sini? Ia bahkan tidak mampu berkomunikasi. Saya rasa Armando dan ibu bisa mendapatkan yang lebih baik di tempat yang sesuai dengan keadaannya dibanding bila ia di sini". Apakah itu suatu hal yang “muluk-muluk” dari harapan seorang ibu? Jadi, apa yang diupayakannya untuk melatih “berbicara” Armando, pupuslah sudah..., rupanya dunia “normal” menutup pintu untuknya.

Namun, hal itu tidak mematahkan hatinya, sedih memang, tapi lihatlah bagian akhir dari tulisannya, optimisme yang luar biasa, dan memang begitulah cara memandang penyandang kebutuhan khusus. Jangan pakai ukuran orang normal, ”sekali-kali cobalah mendengarkan suara hatinya” begitu tulis Irma. Ya.. kalau mau mengenal mereka masuklah ke dalam dunianya...Siapa bilang tunantera tidak bisa melihat? Siapa bilang penyandang tunarungu tidak bisa mendengar? Siapa bilang penyandang tuna daksa tidak bisa berjalan? Siapa bilang penyandang tuna grahita bodoh? Bukankah yang sering berkata demikian adalah kita?, karena kita pakai ukuran normal, tapi cobalah dengan perspektif mereka, maka kita akan bisa melihat bahwa ternyata mereka tidak serapuh yang di duga.

Sebagai contoh, mari kita lihat penyandang tuna netra. Pengertian “melihat” bagi tunanetra adalah sesuatu yang dapat dirasakan, diraba dan di dengar. Sedangkan pengertian “melihat” untuk orang “normal” adalah sesuatu yang bisa dilihat hanya pakai penglihatan saja, dan fungsi tangan hanyalah sebagai alat bantu. Buat mereka, tangan tidak hanya sekedar alat bantu saja, tetapi berfungsi sebagai “mata” mereka, karena dengan meraba dan merasakan, bahkan hanya “membaui” dengan hidung dan mendengar dengan telinga, mereka dapat “melihat”. Bukankah hal itu luar biasa..?.

Jadi, kalau kita mau bersabar dan berempati, untuk berada di pihak mereka, apakah masih ada alasan bagi kita untuk “menolak” mereka?. Kasus yang terjadi pada Irma dan Armando, merupakan jutaan kasus yang ada di dunia ini. Kenapa orang sulit untuk melihat dan menerima penyandang berkebutuhan khusus dari sudut pandang mereka? Salah satu penyebabnya karena manusia tidak bisa memberi jawab terhadap pertanyaan kenapa mereka terlahir di dunia ini dalam keadaan semacam itu. Sehingga tidak heran, alasan yang paling mudah yang dibuat manusia, bahwa ini karena dosa orangtuanya. Pemahaman ini sudah dan masih terjadi sejak ribuan tahun yang lalu, dan itu terus berkembang dalam lintas negara, jaman dan budaya...sehinga mengakibatkan mereka terdiskriminasi dan marjinal.

Di negara manapun juga, baik yang maju dan berkembang sekalipun, masih banyak dijumpai kasus-kasus marjinalisasi penyandang berkebutuhan khusus. Hanya saja di negara maju, masih lebih baik, karena proses belajar bagaimana memahami penyandang berkebutuhan khusus, difasilitasi oleh berbagai pihak. Ketika sebuah keluarga terlahir seorang penyandang berkebutuhan khusus, maka “suporting system” seperti medis, pekerja sosial, psikolog dan “stake holder” lain, semua memberikan dukungan aktif. Akibatnya, keluarga tidak terlalu lama di dalam proses penerimaan anaknya. Sehingga mereka bisa mendidik anaknya seperti kehidupan biasa seorang anak. Hal ini berbeda dengan keluarga di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, mereka berada dalam “stress” berkepanjangan, karena tidak mendapatkan dukungan yang kuat. Seolah mereka menanggung “sendirian penderitaan” karena kehadiran anggota keluarga penyandang berkebutuhan khusus.

Jadi untuk mengembangkan penyadaran dan cara berfikir bahwa penyandang berkebutuhan khusus, berharga di hadapan Tuhan dan manusia, maka harus dimulai dari keluarga-keluarga yang telah “menemukan” hakikat dari kehadiran mereka. Supaya keluarga dapat menemukan bahwa mereka berharga, mari kita simak Yohanes 9:1-3 : “Waktu Yesus sedang lewat, Ia melihat seorang yang buta sejak lahirnya. Murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya: "Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?"Jawab Yesus: "Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia”

Jawaban Yesus tersebut sangat jelas, bahwa kehadiran penyandang berkebutuhan khusus, sama sekali tidak berhubungan dengan dosa. Malahan kehadirannya mempunyai aspek yang penting bahwa “pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia (tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, autis, tuna daksa dan lain sebagainya)”. Bukankah kehadiran mereka punya arti yang istimewa? Dimana keistimewaannya?. Menjadi istimewa, karena dengan kehadiran mereka, keluarga adalah orang pertama yang mendapat kesempatan melihat PEKERJAAN-PEKERJAAN ALLAH. Bukankah hal itu merupakan kehormatan yang diberikan Allah, karena tidak semua orang mendapatkan kesempatan seperti itu. Karena istimewa, maka tentunya orang yang mau menyaksikanNya harus mau membayar harga, yaitu melepaskan kekuatiran, kesedihan, ketakutan, ketidak percayaan dan perasaan negatif lainnya pada Salib Kristus. Inilah harga yang mahal !!, kesempatan tapi juga sekaligus tantangan.

Ada banyak keluarga yang bersaksi tentang kemenangan-kemenangan yang berhasil mereka dapatkan, tetapi ada banyak keluarga yang justru semakin terbenam dalam perasaan-perasaan itu. Jika keluarga, memilih untuk tidak melepaskan “miliknya”, maka semakin mereka tidak bisa menyaksikan pekerjaan-pekerjaan Allah. Tetapi semakin keluarga berproses melepaskan itu semua, semakin mereka bisa mensyukuri kesempantan istimewa ini.


Apa ukurannya, jika sebuah keluarga memanfaatkan kesempatan istimewa itu. Jelas yang bisa disaksikan adalah pada buahnya, yaitu pertumbuhan dan perkembangan anaknya dapat berkembang wajar walaupun berkebutuhan khusus, apapun dan bagaimanapun tingkat kebutuhan khususnya. Contoh kisah Irma Koswara diatas, adalah salah satu kisah seorang Ibu yang mampu melepaskan perasaan dan pergumulan dirinya sendiri, sehingga punya “fighting spirit” yang luar biasa. Hal ini tentunya tidak dapat diperolehnya kalau tidak berhubungan intim dengan Allah, tentunya hal ini dilakukan terus menerus sepanjang hayat. Bukankah terbinanya hubungan intim antara manusia dan Allah menjadi tujuan utama PEKERJAAN Allah? Jadi, berbaahagialah keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus, karena anda adalah termasuk orang yang dipercaya olehNya untuk menyaksikan pekerjaanNya.


sumber: http://rawinala.or.id/mereka-juga-berharga.html

Komunitas Autis Bereaksi Terhadap Kasus Cho

Pittsburgh - Kabar bahwa Cho Seung-Hui, pelaku pembantaian di Universitas Virginia Tech, didiagnosa menderita autis sewaktu kecil mengundang reaksi dari komunitas autis di Amerika Serikat. Badan Autisme AS merasa perlu mengeluarkan pernyataan sikap soal itu.

Reaksi itu datang dari badan AutismLink and Autism Center of Pittsburgh seperti dilansir kantor berita AFP, Jumat (20/4/2007).

“Meski seluruh komunitas autis di Pittsburgh dan seluruh negara hancur dengan peristiwa terakhir di Virginia Tech, kami ingin mengingatkan publik untuk tidak menstigmata anak-anak atau individu yang menderita autis,” demikian statemen yang disampaikan direktur pusat autis Pittsburgh tersebut, Cindy Waeltermann.

“Cho kemungkinan tidak menerima bantuan dan dukungan yang diperlukannya sejak dini. Karena itulah kenapa intervensi begitu penting dan kenapa tempat seperti Pusat Autisme Pittsburgh ada. Tindakan seorang individu tidak menggambarkan keseluruhan populasi autis,” kata Waeltermann.

Waeltermann menegaskan, tidak adil menyalahkan tindakan brutal Cho pada kondisi autis yang dideritanya. Sebabnya, Cho jelas-jelas lemah secara psikologis. Apalagi pria Korsel itu juga pernah punya masalah kejiwaan.

Menurutnya, kasus Cho merupakan peringatan akan pentingnya intervensi dan penanganan sejak dini terhadap para penderita autis. Apalagi berdasarkan hasil riset, anak-anak autis yang mendapat pertolongan sejak dini akan lebih mahir berkomunikasi.

sumber: Rita Uli Hutapea - detikNews
http://sekolah.cahyaanakku.org/?p=349

Anak-anak Berkebutuhan Khusus Diupayakan Kuasai Teknologi

Anak-anak berkebutuhan khusus diupayakan bisa terampil menguasai teknologi informasi dan komunikasi Usaha ini sebagai langkah untuk meningkatkan kompetensi anak-anak berkebutuhan khusus untuk bisa mandiri dengan mengembangkan potensi yang mereka miliki

Namun, orientasi pembelajaran anak-anak berkebutuhan khusus untuk lebih menguasi keterampilan-keterampilan dan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) itu hingga saat ini masih menghadapi kendala. Selain minimnya sarana dan prasarana workshop beragam keterampilan, persoalan yang cukup serius adalah kurangnya guru-guru yang mampu, mengajarkan keterampilan yang dikembangkan dalam pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus di seluruh Indonesia.

"Pendidikan kita itu di ujungnya atau hasil lulusannya belum memberikan kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan untuk hidup atau belum bisa membuat anak mandiri. Karena itu. fokus pendidikan bagi anak-anak berkebuluhan khusus sejak tahun 2006 mulai diarahkan untuk memperkuat kompeten-si-kompetensi yang dibutuhkan dalam hidup. Sekitar 39 jenis keterampilan diajarkan dalam pendidikan khusus." kata Eko Djatmiko Sukarso. Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Depdiknas di Jakarta, kemarin.

Menururt Eko. pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus bukan hanya meliputi penyandang cacat yang mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah luar biasa. Pendidikan dengan cara yang khusus juga dibuluhkan untuk melayani anak-anak cerdas isUmewa/berbakat istimewa, anak-anak tenaga kerja Indonesia (TKI) di daerah perbatasan dan luar negeri, anak-anak jalanan, anak-anak di dalam lembaga tahanan masyarakat, anak-anak korban bencana alam, anak-anak yang menderita HIV/AIDS, anak-anak pelacur, anak-anak korban perdagangan orang, hingga anak-anak suku terasing.

"Bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus yang dilayani lewat pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus, perlu dilakukan terobos-an-terobosan yang disesuaikan dengan kondisi mereka. Perlu fleksibel untuk melihat kebutuhan pendidikan yang sesuai dengan kondisi mereka. Dengan penguasaan keterampilan dan TIK. anak-anak tersebut diharapkan bisa lebih mandiri." kata Eko.Dalam peningkatan penguasaan TIK bagi anak-anak berkebutuhan khusus, kata Eko. pihaknya mendapat dukungan dari perusahaan-perusahaan
TIK. Salah satunya IBM yang memiliki program memperkenalkan teknologi informasi sejak usia dini.

"Kita harus memberikan kesempatan bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk menguasai TI yang terus berkembang dan dibutuhkan dalam hidup. Bukan saja untuk memudahkan cara belajar, tapi juga untuk membuat anak-abak ini mampu berkompetisi dalam dunia kerja nanti. erusahaan-perusahan, seperti yang dilakukan IBM, mesti punya kebijakan untuk juga menerima karyawan berkebutuhan khusus," Suryo Suwjgnjo, Presiden Direktur IBM Indonesia.

Menurur Suryo, dalam pengenalan Tt pada anak-anak berkebutuhan khusus, tantangan terbesar adalah menyiapkan para guru. "Kami bukan hanya menyediakan alat-alat TI. Tetapi juga melatih guru dan membutakan kurikulum supaya peralatan TI yang ada di sekolah benar-benar dimanfaatkan optimal." ujarSur-yo.

sumber: http://bataviase.co.id/node/14597

Sulitnya Menangani Anak-anak Berkebutuhan Khusus

KOMPAS.com - Asmirandah Yanti (5) selalu bersemangat saat diberi buku bacaan anak. Meski matanya hampir melekat di kertas buku, Asmirandah yang memiliki masalah penglihatan—akibat lensa di dalam matanya tak menyatu—tidak pernah bosan melihat-lihat buku bacaannya.

Sudah hampir enam bulan ini Asmirandah diajar secara khusus oleh Munawar, guru honorer Taman Kanak-kanak (TK) Pertiwi 1 Cakke, Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Bersama Asmirandah, ada Rais (7) yang tangan kanan dan kakinya kurang sempurna, serta Hasbil (3) yang kedua telapak kakinya ke belakang. Mereka belajar bersama-sama.

Anak-anak yang memili ki keterbatasan fisik itu kesulitan untuk bersekolah di sekolah luar biasa (SLB) yang berlokasi di pusat ibu kota kabupaten. Untuk bersekolah di TK atau SD reguler yang dekat dengan rumah juga sulit.

Karena itu, Munawar yang mendapat pelatihan soal pendidikan inklusi dari Helen Keller International (HKI), lewat program National Opportunities for Vulnerable Children, melakukan terobosan dengan berkunjung langsung ke rumah anak-anak berkebutuhan khusus (ABK).

”Anak-anak itu sebenarnya punya semangat tinggi untuk belajar,” ujar Munawar yang merogoh kocek sendiri senilai Rp 30.000 tiap kali berkunjung ke rumah Asmirandah di Desa Malua.

Di rumah itulah, ketiga anak berkebutuhan khusus itu diajar untuk mandiri dengan keterbatasan fisik mereka, serta bermain dan belajar untuk merangsang keinginan belajar. ”Anggota keluarga juga terlibat supaya mereka mendorong anak-anak ini nantinya mau bersekolah. Mendidik ABK sejak dini bisa membuat lebih percaya diri untuk bersekolah,” kata Munawar.

Mengajar anak berkebutuhan khusus di usia dini di rumah juga dilakukan Sitti Mariani, Pelaksana Tugas Kepala TK Pertiwi 1 Cakke. Sekolah ini sudah lama bersedia menerima anak berkebutuhan khusus yang dibiarkan berbaur dengan anak-anak lainnya.

Selain terjun langsung untuk menjangkau ABK usia dini di kampung-kampung, para guru TK ini juga menyebarkan semangat pendidikan inklusi kepada guru-guru TK lainnya. Upaya ini mulai berbuah, mulai ada guru TK yang mau menjangkau anak berkebutuhan khusus usia dini yang ada di sekitar sekolah atau tempat tinggal mereka.

Membuka diri

Para guru TK diajak untuk mulai mendata anak-anak berkebutuhan khusus di wilayahnya. Sekolah pun mulai mengumumkan secara terbuka untuk menerima anak-anak berkebutuhan khusus.

Menurut Sitti, ABK seperti penyandang autis dan down syndrome yang ada di TK ini justru kemajuannya lumayan. Pasalnya, mereka berbaur dengan anak-anak reguler. Jadi, mereka tertantang untuk tidak ketinggalan dalam belajar.

Meski tidak ditetapkan secara resmi sebagai sekolah inklusi, banyak SD di Kabupaten Enrekang yang mulai menerima ABK di sekolahnya. Kebijakan itu membuat ABK yang tidak bisa mengakses SLB bisa menikmati bangku sekolah, belajar bersama anak-anak lainnya.

Belum tersedianya guru pembimbing khusus yang berkualitas di sekolah-sekolah membuat layanan ABK di sekolah reguler tidak maksimal.

Najmiani, Kepala SDN 74 Bolang, Kecamatan Alla, mengatakan, sekolah ini mulai menerima siswa berkebutuhan khusus sejak tahun lalu. Layanan itu diberikan karena orangtua siswa yang memiliki anak-anak berkebutuhan khusus sulit mengakses SLB.

Di sekolah tersebut ada empat ABK, antara lain, gangguan penglihatan, autis, dan tunarungu. Para siswa berasal dari keluarga miskin dengan mata pencarian orangtua umumnya sebagai petani.

Merebaknya sekolah inklusi di Kabupaten Enrekang itu setidaknya bisa menjangkau 258 siswa ABK. Ada sekitar 80 SD yang membuka diri untuk menerima ABK meskipun tidak semuanya secara resmi ditetapkan sebagai sekolah inklusi.

Widya Prasetyanti dari HKI mengatakan, terbukanya sekolah untuk menerima ABK tumbuh dari kesadaran para pendidik dan masyarakat. Keluarga pun mulai membuka diri dan membuang rasa malu memiliki anak cacat.

Ketua Persatuan Penyandang Cacat Indonesia Kabupaten Enrekang Akbar Dahali mengatakan, para pendidik di sekolah reguler perlu terus disadarkan untuk tidak membeda-bedakan siswa dalam layanan pendidikan. Sekolah reguler tidak bisa menutup mata melihat ada sejumlah ABK yang tidak bisa mengakses layanan pendidikan karena kecacatan mereka.

Hingga saat ini baru sekitar 20 persen ABK yang terlayani pendidikan di SLB. Padahal, anak-anak ini juga memiliki hak yang sama untuk menikmati pendidikan demi masa depan mereka.

Semangat mengembangkan pendidikan inklusi yang tumbuh di Enrekang mulai memberi harapan. Anak-anak yang memiliki keterbatasan fisik pun tidak lagi terhalang untuk mengembangkan diri.

sumber: http://gurupintar.ut.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=77&Itemid=1

Hiperaktif dan Autis (ringan)

Memasukkan anak “special needs” ke sekolah yang menerapkan sistem inklusi adalah pilihan tepat. Karena anak-anak special needs ini belajar di kelas yang sama dengan anak-anak pada umumnya, tetapi mereka memperoleh layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya. Baik berkaitan dengan materi, strategi pembelajaran, media yang digunakan maupun evaluasinya.
Seorang Ibu memiliki anak usia 8 tahun 7 bulan, laki-laki, abk dengan hiperaktif dan autis. Dari kecil (4 tahun) kami sudah melakukan terapi-terapi,ada perubahan-perubahan. Tetapi sampai sekarang sifat hiperaktifnya masih ada, dan kadang kesabaran ibu ini berkurang. Ibu ini memasukkan anaknya ke sekolah di SDN inklusi bogor, kelas 2.
Solusi Ibu tersebut memasukkan anaknya ke sekolah umum adalah hal yang dipandang baik oleh Namih Al Faisal sehingga perkembangan tumbuh kembang maupun kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik anak mengalami kemajuan. Anak dengan special needs juga ada yang mempunyai kemampuan IQ (Intelegence Quetion) yang memadai bahkan ada juga yang di atas rata-rata anak pada umumnya.
“akupuntur khusus untuk Autisme” sudah teruji cukup berhasil membantu mengurangi hiperaktif dan merangsang pusat bicara.
Di samping itu, untuk membantu mengurangi hiperaktifnya. Namih Al Faisal menyarankan mengikuti program “behavior therapy” (terapi perilaku) dalam upaya untuk membantu mematuhi aturan atau norma-norma yang berlaku dalam masyarakat kita.

sumber:
-eramuslim.com oleh Namih Al Faisal, S.Pd
-http://dyahanggraini.ngeblogs.com/category/psikologi-anak-khusus/page/2/

Kasus ADHD tipe Hiperaktivitas

Hari minggu kemarin, Hercules lagi-lagi bikin kehebohan. 10 menit pertama dia baik-baik saja, tiba tiba menyerang Michelle yang cantik dan pendiam. Selalu Michelle…selalu Michelle yang jadi sasaran keisengannya. Untung aku tidak bertugas mengajar didepan kelas, jadi hanya menjaga anak-anak saja. Karena aku melindungin Michelle, duduk dekat dengannya, Hercules mengalihkan perhatian ke majalan dinding, dan mengambil salah satu paku payungnya.
Aku takut gerakan gesitnya dengan paku payung akan melukai michelle atau anak yang lain. Aku tidak bisa segera merebut paku itu, karena dia gesit dan cerdik juga. Aku memancingnya keluar kelas, karena ulah Hercules sudah mengganggu suasana kelas.
Membawa Hercules keluar kelas, seperti sedang menjebak tikus, supaya lari ke tempat yang kita kehendaki. Aku biarkan pintu terbuka lebar, sementara aku mengejar Hercules, kalau arahnya ke pintu. Kalau ke sudut saja, aku diamkan. setelah berhasil keluar, aku ajak ke dalam kelas kosong, kami main kunci mengunci. aku suruh dia masukkan ujung paku payungnya ke lubang kunci, dan keluarkan lagi, dan sebagainya. Sampai dia bosan dan paku payung ditinggalkannya.
Tapi melihat dia masih kelebihan energi, aku tidak mengajak balik ke kelas, tapi diajak main secara fisik, misalnya buka tutup pintu, angkat meja, geser kursi. Pokoknya berisik banget. Hercules kelihatan senang. Tapi aku lelah banget ngladeni dia dan aku terduduk sambil liat Hercules. Tiba-tiba dia menarik tanganku, mengajak ke lantai atas, lalu turun lewat tangga satunya, muter naik lewat tangga yang lain. Biarin deh…demi menguras energinya, meskipun aku juga terkuras.
Kasus dalam artikel diatas merupakan anak yang memiliki special needs, yang memerlukan perlakuan secara khusus. Anak dalam kasus diatas adalah anak dengan ADHD (Attention Defisit-Hyperactivity Disorder) tipe hiperaktivitas. Gangguan ADHD merupakan gangguan perilaku yang ditandai dengan aktivitas motorik berlebih dan ketidak mampuan untuk memfokuskan perhatian, sementara hiperaktivitas memiliki pengertian yang lebih khususnya pola perilaku abnormal yang ditandai oleh kesulitan mempertahankan perhatian dan kegelisahan yang ekstrem.

sumber :
-elkaje.multiply.com
-http://dyahanggraini.ngeblogs.com/category/psikologi-anak-khusus/

Menerima dan Mengasihi Anak-Anak Berkebutuhan Khusus

Anak berkebutuhan khusus di lingkungan anak “normal”: diterima atau ditolak?


Saya masih ingat betul, saat-saat mendampingi anak saya yang pertama, Hans, bersekolah. Waktu itu usia Hans 2,5 tahun dan dia berada di Kelas Pra-Playgroup. Kelasnya sangat menyenangkan, terdiri dari beberapa anak laki dan perempuan yang manis-manis, dan seorang guru yang sangat dicintai oleh anak-anak. Segala sesuatu berjalan dengan baik, hingga pada suatu hari muncullah seorang anak baru, sebut saja namanya Don (bukan nama sesungguhnya). Don bertubuh besar dan agak gemuk, dialah yang paling besar dan kuat dibanding teman-teman sekelasnya. Don tidak bisa diam, dia suka naik meja, dia juga sering menangis, marah dan mengamuk, bahkan kadang berguling di lantai serta membenturkan kepalanya ke tembok. Don belum bisa berbicara selayaknya anak seusianya. Menurut neneknya, yang selama ini mengasuh Don sejak kecil, Don didiagnosis terkena Autis taraf ringan dan sedikit Hiperaktif.

Mengamati tingkah laku Don dari balik jendela kelas, sungguh sangat mencemaskan hati banyak orang tua. Apalagi setelah beberapa anak, yang umumnya memiliki tubuh sangat kecil, telah menjadi “korban” akibat ledakan emosi Don yang salah sasaran. Beberapa anak bahkan sempat merasa takut dan tidak mau sekolah. Si guru yang kebetulan bertubuh mungil, juga harus dengan sekuat tenaga berupaya memegang Don, bahkan kadang menggendongnya, bila hal itu dapat meredakan emosi Don yang sedang meledak.

Beberapa kali saya sempat berbincang dengan nenek Don, yang setiap pagi rajin mengantar dan menunggui Don hingga kelas berakhir. Saya bisa merasakan cinta kasih serta keprihatiannya atas diri Don yang memiliki gangguan perkembangan. Saya tidak bisa banyak membantu, juga kadang tidak tahu harus berkata apa, tetapi saya berusaha menjadi pendengar yang baik. Dari sini saya melihat bahwa, memiliki seorang anak dengan kebutuhan khusus, benar-benar menyita seluruh WAKTU, TENAGA, PIKIRAN, bahkan PERASAAN, disamping tentu saja, DANA yang tidak sedikit untuk berbagai pengobatan dan terapi yang harus dijalani oleh anak berkebutuhan khusus tsb. Si nenek memutuskan untuk memasukkan Don ke Sekolah Reguler karena ingin Don juga merasakan kehidupan seperti layaknya anak-anak “normal” lainnya.

Di sisi yang lain, saya juga menjadi tempat curhat (curahan hati) dari para orang tua yang merasa kehadiran Don di kelas anak-anaknya tidak pada tempatnya. Seharusnya Don berada di Sekolah Khusus, demikian kata mereka. Apalagi para orang tua yang anaknya telah menjadi “korban” tingkah laku Don, mereka memiliki berbagai bukti kuat bahwa kehadiran Don bisa merusak semangat bersekolah anak-anak lainnya, juga dalam hal keselamatan fisik anak-anak tersebut.


Sungguh dilematis bukan?

Masing-masing pihak punya kepentingan dan pergumulannya sendiri. Tetapi pada saat kepentingan dan pergumulan ini dikonfrontasikan, seringkali pihak yang harus mengalah adalah yang berada di posisi Don. Anak-anak seperti Don, harus disingkirkan, atau dalam bahasa yang lebih halus, kita mengatakan, harus memperoleh Pendidikan Khusus dan dipisahkan dari anak-anak “normal” lainnya.

Memang, ada beragam program dan terapi yang bisa membantu anak-anak ini untuk mengatasi masalah / gangguan perkembangannya. Ada terapi fisik, terapi wicara, terapi okupasi, dan banyak program lainnya yang akan membantu anak mengatasi masalah emosi dan perilaku. Tetapi kita mungkin lupa, bahwa yang dibutuhkan oleh Don serta anak-anak berkebutuhan khusus lainnya tidak hanya berbagai program terapi, melainkan juga perasaan untuk diterima oleh lingkungannya.

Don dan anak-anak berkebutuhan khusus lainnya adalah juga ANAK-ANAK seperti layaknya anak-anak kita yang “normal”. Mereka butuh lingkungan yang mendukung, dimana mereka bisa bertumbuh dan berkembang pula dengan optimal.

Segala macam bentuk usaha untuk menyingkirkan anak-anak yang memiliki gangguan perkembangan seperti Don, adalah perlakuan yang sangat tidak manusiawi. Memang, akan ada resiko, akan ada usaha ekstra keras, akan ada banyak kerepotan yang bakal terjadi, bila kita mengijinkan Don hidup bersama dalam sebuah komunitas degan anak-anak kita yang “normal”. YA. Tetapi ini adalah kesempatan sekaligus hak istimewa bagi kita untuk mewujudkan Kasih Kristus dalam tindakan nyata!

sumber: http://indonesia-educenter.net/index.php?option=com_content&task=view&id=147&Itemid=115

Sabtu, 17 April 2010

Mempunyai Anak Berkebutuhan Khusus

Dunia terasa lengkap saat seorang anak lahir di dunia. Apalagi lahir tampak normal, tidak ada kelainan fisik yang tampak pada bayi. Tangis melengking si bayi menambah meriah kebahagiaan keluarga. Dalam perkembangannya karena ibu adalah seorang yang bekerja dia memberi ASI (air susu ibu) dan diselingi susu formula dengan harapan saat tiba waktunya bekerja ibu tidak repot menyapihnya. Saat anak menginjak usia 1 bulan si bayi harus opname di rumah sakit dengan dehidrasi karena diare, selanjutnya sampai usia 20 bulan sudah 4 kali opname di rumah sakit dengan kasus yang sama. Bisa berjalan usia 14 bulan, terkesan hiperaktif, ada masalah tidur, usia 20 bulan belum ada kata- kata yang keluar dari mulutnya. Ada saran dibawa ke psychiatry anak dan didiagnosa ADHD (Attention Deficit Hyperaactivity Disorder). Diberi obat- obatan dan disarankan terapi perilaku. Dan harus melakukan diet CFGF (Casein Free Glutein Free).

Sedikit cerita tentang Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Bagaimana orang tua menyikapi hal ini dengan benar sangat menentukan masa depan anak. Saat pertama kali mendengar hal itu wajar jika orang tua menjadi sedih sampai menangis tiap malam. Tetapi kedewasaan orang tua harus ditunjukkan. Bisa dimulai dengan mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang apa ABK (Anak Berkebutuhan Khusus). Apa yang harus dilakukan, perlukah pengobatan biomedis untuk anak ini, pemeriksaan apa yang menunjang, harus konsultasi ke siapa saja, kapan anak mendapat terapi perilaku dan sebagainya.

Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) mempunyai kebutuhan yang sama dengan anak biasa dalam pendidikan dan kasih sayang, bahkan mereka perlu perhatian lebih untuk mempelajari hal yang remeh sekalipun dengan kekurangannya. Anak biasa 2 sampai 3 kali ulangan sudah bisa, ABK lebih dari 10 kali ulangan belum tentu bisa. Tetapi jangan dijadikan kekurangan dan kesulitannya dalam belajar timbul rasa kasihan atau iba yang bisa menghambat proses mereka dalam mengenal, mempelajari, dan memahami. Diperlukan kedisiplinan dari orang tua dalam memberi pelajaran dan perhatian untuk ABK. Menghargai setiap kerja keras Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) apa pun hasilnya memacu mereka untuk dapat lebih baik lagi. Setiap anak mempunyai potensi, orang tua harus pandai menangkap potensi yang ada dan mengembangkannya.

Bisakah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) mempunyai kesempatan untuk bersekolah umum dan berbaur dengan anak normal? Dengan Program Inklusi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) bisa belajar dengan anak biasa atau normal. Peranan orang tua sangat membantu, tidak perlu malu, atau pun gengsi mengakui mereka sebagai Anak Berkebutuhan Khusus. Berpikir positif saja. Semua yang dilakukan untuk Anak Berkebutuhan Khusus adalah suatu proses sehingga tidak dapat dilakukan dengan segera atau instant. Belajar dan belajar dengan yang seharusnya bukan memaksakan kehendak kita yang tidak sesuai kemampuan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Dan berdoa kepada Tuhan sang Pencipta karena Anak Berkebutuhan Khusus di mata Tuhan adalah ciptaanNya yang dipercayakan kepada orang tua yang dipilihNya.

sumber: http://rasyidrayyaan.blogspot.com/2009/10/mempunyai-anak-berkebutuhan-khusus.html

Ruang Terapi Autis di RS Pertamina Balikpapan Dilengkapi CCTV

SEORANG bocah berumur empat tahun datang ke Balikpapan Autis Center (BAC) Rumah Sakit Pertamina Balikpapan (RSPB) digandeng sang ayah. Tak peduli dengan orang sekitarnya, ia melangkah masuk dan langsung duduk di deretan bangku yang terletak di lorong ruangan.

PARA terapis pun ramai menyapa sang bocah. "Irfan sudah datang", "Irfan mau main apa?". Tapi sosok yang dipanggil Irfan ini hanya tertawa, menengok sekilas, kemudian turun dari kursi tempatnya duduk dan berlari hilir mudik.
Irfan adalah satu dari sekian banyak anak berkebutuhan khusus yang menjalani terapi di Klinik BAC. "Sejak umur dua tahun, kami diberitahu kalau anak kedua kami ini mengalami gangguan pendengaran. Kami pun diberitahu pihak rumah sakit untuk membawa Irfan terapi di Klinik BAC," ungkap Kabri, ayah Irfan.

Perubahan sedikit demi sedikit dirasakan Kabri dan istri setelah membawa Irfan terapi ke BAC. Irfan yang awalnya susah diarahkan, labil, dan sedikit interaktif, kini mulai bisa diarahkan. Di rumah pun Irfan tidak mudah marah atau menangis lagi. "Meski masih harus menggunakan alat bantu dengar, ia sekarang sudah mulai memahami instruksi yang dikatakan therapis maupun orang tuanya, mendengarkan pembicaraan orang lain," ujar Kabri.

Sekelumit tentang Irfan, mewakili kisah anak berkebutuhan khusus lainnya yang sedang menjalani terapi di klinik BAC. Klinik anak berkebutuhan khusus yang berada di bawah naungan manajemen RSPB yang hari ini, Minggu (4/4), berusia ke-23.

Rumah sakit yang awalnya hanya melayani kebutuhan medis karyawan perminyakan di Balikpapan, kini menjadi rumah sakit swasta yang melayani berbagai kalangan. Karyawan berbagai perusahaan, masyarakat umum, hingga peserta Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) Kota Balikpapan.

Enam tahun belakangan ini, yakni sejak 18 April 2004, RSPB melebarkan sayapnya dengan meresmikan Balikpapan Autis Center (BAC), klinik khusus bagi anak-anak yang juga memiliki kebutuhan khusus di Jl Cepu No 1, kawasan Panorama Balikpapan.

Memasang nama Autis Center, bukan berarti hanya melayani anak-anak penyandang autis tetapi berbagai kelainan lain pada anak, seperti Down Syndrome, Cerebral Palsy, Development Delay, ADHD (Atention Defisit Hyperaktif Disorder), serta Learning Disabilitis.

Hingga tahun ini, BAC pun telah merawat sedikitnya 110 anak dengan kebutuhan khusus. "Awalnya, kami merawat 26 anak dan rata-rata mereka sudah mengalami perubahan dan dapat bersekolah di sekolah reguler. Untuk sekarang ini, kami sedang menangani 21 anak dengan enam therapis yang ahli di bidangnya masing-masing. Setiap anak mendapat satu therapis yang akan selalu bersama selama satu jam. Mengapa? Agar masing-masing anak mendapat cukup perhatian dan penanganan yang serius terhadap masalahnya masing-masing," ungkap Penanggungjawab BAC, Sri Sulastri Amd OT.

Di BAC, tak hanya anak saja yang mendapat terapi, tetapi orangtua maupun pengasuh si anak juga dilibatkan dalam program terapi agar dapat mengulang di rumah. "Di sini (BAC) kami memberikan beragam terapi pada anak, mulai dari terapi perilaku, terapi wicara, terapi okupasi, terapi sensori integrasi hingga terapi sosial dengan menggelar kunjungan-kunjungan ke berbagai tempat bersejarah maupun hiburan di Balikpapan," kata wanita yang akrab disapa Lastri ini.

Ruang terapi di BAC pun sengaja dirancang dengan konsep rumah bermain. Sehingga memberi kenyamanan buat anak dan dilengkapi dengan ruang terapi sensori integrasi, ruang okupasi terapi dan ruang terapi perilaku. Masing-masing ruangan dilengkapi dengan CCTV untuk memudahkan terapis memantau dan mengontrol kemajuan masing-masing penyandang tanpa mengganggu aktivitas mereka.

Dalam pemberian terapi, masing-masing penyandang akan ditemani oleh satu orang terapis dengan latar pendidikan Sarjana Psikologi, Okupasi Terapi dan Fisioteraphy, di bawah koordinasi Dokter Spesialis Anak dan Dokter Spesialis Rehabilitasi Medik.

Selain itu BAC juga memiliki konsultan seorang Spesialis Psikiater Anak dan Remaja dari RS Dr Soetomo Surabaya yang datang berkunjung rutin untuk bertemu langsung dengan penyandang di BAC.

sumber: http://www.tribunkaltim.co.id/read/artikel/53622

Bintang Bukan Anak Kecil (Kisah Anak Indigo)

Pertama bertemu dengan Bintang yang baru berumur 8 tahun ,saya merasakan dan melihat dia sebagai anak yang sangat cerdas.
Perawakan badanya yang agak besar serta sorot matanya yang tajam ditambah lagi dengan kepintarannya berdialog dan berargumen layaknya orang dewasa.

Namun ibu dan bapaknya teryata sudah pusing tujuh keliling menghadapi anak mereka yang katanya sangat nakal ini.
Di sekolah dulu kerjanya berantem melulu serta ketika mengikuti pelajaran malah ia berteriak teriak di kelas dan mengangu teman teman sekelasnya terutama yang wanita.

Dan suatu hari ia pulang sekolah dan lansung berkata :

“Aku ndak mau sekolah lagi bu ,karena yang mengajar saya gurunya masih anak kecil semua dan ilmu dan pengetahuannya tak ada guna ,aku lebih tahu daripada mereka hal hal yang diajarkan oleh mereka”

Dan bagaimanapun cara orangtuanya menbujuk Bintang tetap tak mau bersekolah.
Dan sering orang kampung datang meminta ganti rugi akibat kenakalan Bintang ini .
Pernah suatu hari datang tukang mie ayam bercerita :

“Bu anak ibu keterlaluan dia tadi minta mie gratis pada saya ,dan tak dikasih dia langsung memasukan pasir di mie dan kuah mie saya ,dan langsung lari “

Sudah berbagai cara di coba untuk mengobati kenakalan Bintang ini ,dengan menyekolahkan ke sekolah anak berkebutuhan khusus ,dan iapun mengamuk dan berkata:

“Ibu sadar ngak sih ? ,itu sekolah buat anak yang agak kurang kemanpuannya ,saya kan pintar ? Sekolah umun aja nilaiku bagus semua tanpa aku perlu belajar ,tapi aku lebih tua dari mereka ,termasuk kalian orang tuaku kalian masih anak kecil kalah jauh dengan aku “
Kemudian ia mengebrak meja dan mejapun hancur jadi dua.

Pernah juga seorang paranormal diundang kerumah mereka untuk mengobati atau mendoakan agar si Bintang tak nakal lagi ,dan apa yang terjadi ?
Bintang malah dengan santainya berkata :

“Pinjem dong cincinnya om ‘ dan iapun memegang cincin itu sebentar dan berkta :

“ki pulang aja sana ilmumu masih tangung ,sana belajar yang benar dulu ,” sambil mengembalikan cincin itu ,ketika paranormal itu memakai kembali cincin itu ia malah muntah darah.
Dan bintangpun ketawa dan berkata :

“Kubilang juga apa ,sana pulang ngelmu lagi yang tekun”

Ketika ibunya bercerita padaku iapun ikut menyimak dan ikut menimpali serta menberikan alasan alasan kenakalanya.
Terlihat dia seperti anak normal dan terkesan dewasa.
Waktu itu kamipun mengajak keluarga Bintang ketempat romo ,guru medetasiku.

Ketika sampai disana dan bertemu dengan romo ,romoku pun langsung bertanya :

“Kamu sama saya tua siapa? “

Dan Bintang menjawab :

“Ampun romo saya ngaku kamu lebih tua dan saya lakunya kalah jauh sama anda ,maukah anda menerima aku jadi muridmu ? “

Orang tua Bintangpun terheran heran melihat anak mereka begitu sopan pada romoku, dan akhirnya merekapun datang semingu sekali untuk sowan ke romoku serta Bintangpun mau belajar meditasi dan sedikit sedikit kenakalannya berkurang ,namun ia tetap tak mau bersekolah.

Lama sudah saya tak bertemu Bintang anak sakti dan nakal ini .
Dan banyak sekali fenomena anak anak indigo yang lahir sekarang yang menpunyai kemanpuan lebih ,dan tak mau mengikuti aturan umun serta sekolah umun.

Disebut indigo karena aura inti mereka nila tua ,yang biasanya dimiliki seorang yang tingkat spritualnya sudah matang seperti tokoh agama dan tokoh spritual yang sudah menjalani laku yang cukup sempurna.

Secara Budhisme anak anak indigo ini adalah roh tua ,yaitu putaran kelahirannya sudah banyak dan dalam setiap kelahirannya ia menbina diri dan punya tingkat spritual yang lumayan ,namum belum sempurna ,hinga kadang mereka bingung dan ego mereka agak tinggi karena merasa diri mereka tua dan hebat.
Hinga harus mendapat bimbingan dan arahan yang sesuai dan tak bisa dengan sistem paksa.
Dan munkin dilain kesempatan saya akan mengupas lagi tentang anak anak indigo ini.

Salam dami selalu.

sumber: http://sosbud.kompasiana.com/2010/01/28/bintang-bukan-anak-kecil-kisah-anak-indigo/

Aroma Ke Agama-an di Anak Berkebutuhan Khusus

Sudah hampir 9 tahun saya menghabiskan waktu bersama Aini..

He he he.. Memang belum apa-apa memang jika dibanding dengan sederet-an ibu-ibu istimewa yang telah berjalan didepanku. (Salut untuk mereka semua) Pada umumnya.. mereka telah benar-benar “berjibaku”.. Sejak pagi-pagi sampai larut malam.

Begitu banyak pelajaran yang harus dikejar setiap harinya, mulai dari bina diri hingga pelajaran umum. Sayang justru banyak yang melewatkan pelajaran agama.

Alasan yang disampaikan beragam. Lebih banyak, berpijak pada, anak-anak ini hampir dapat dikatagorikan orang-orang yang “sakit”, yang tidak punya kewajiban untuk melakukan hal-hal yang bersifat “fardhu ain”. Berlawanan dengan semangat untuk berusaha memberikan bekal “life skill”, menggebu-gebu.

Yup.. jujur.. sayapun baru terbuka pemikiran, ketika melihat perkembangan Aini menyerap ilmu agama, disekolah inklusinya.

Sebenarnya hal ini juga tidak jauh dari sifat-sifat istimewa yang mereka miliki, diantaranya

1. Anak-anak istimewa, terutama anak-anak autistik.. pada umumnya memiliki kemampuan visual dan pendengaran yang tinggi. Melebihi kemampuan nalarnya. Lihat saja, ananda Kharisma (si penghapal lagu dari Semarang) hanya dengan melihat dan mendengar, ia dapat menirukan persis seperti apa yang tersaji didepan matanya.

2. Kepatuhan mereka pada sebuah keteraturan. Ketika mereka telah terbiasa mengikuti sebuah alur kebiasaan, mereka tak akan pernah melepaskannya sampai kapanpun. Malah ada kecenderungan untuk bersikap menolak atau bahkan melawan, ketika kebiasaan tersebut diubah.

Dua sifat yang luar biasa….

Pengalamanku bersama Aini, juga tidak jauh beda.

Awalnya memang kulakukan karena saya selalu bersamanya (rumah kami jarang ada pembantu). Secara tidak sengaja, Aini terlibat dalam setiap aktifitasku.. mulai dari mengurus rumah hingga kewajiban 5 waktuku. Jika saat sholat tiba, kubentangkan 2 sajadah. Satu untukku dan satu lagi untuk Aini. Yah.. memang sampai sekarang kemajuannya dibidang ini, masih standrat… Kadang mau sholat, kadang bermain-main sendiri. Kadang sholatnya lebih lamaaaa dibandingkanku… kadang baru mulai,.. dia sudah berteriak sudah-sudah dan melipat sajadahnya. Tips.. saat saya sedang berhalangan (karena sulit menerangkan kepadanya kenapa hari ini ibu tidak sholat bersama) saya memperkenalkan Aini pada pembalut. Mulai dari yang sangat tipis … Dan mengatakan padanya, jika Aini atau ibu memakai pembalut, artinya hari itu, tak ada sholat lima waktu. Alhamdulillah berjalan baik.. Dan Alhamdulillah juga ini sesuai dengan langkah-langkah “mengajarkan” dan “mempersiapkan” anak-anak berkebutuhan khusus memasuki usia remaja.

Yang kedua.. Aini senang jika kubawa ke majelis taklim. Saya sengaja pilihkan majelis taklim yang ruangannya dapat di isolir.. sehingga saya masih dapat mengawasi Aini mondar mandir. Saya memang termasuk yang beruntung, mendapat teman-teman seIman yang mendukung. Mereka tidak keberatan ketika Aini sedang gelisah.. dan banyak memberiku semangat..

Aini juga senang mendengarkan saya atau bapaknya mengaji. Tak jarang ia mencoba menirukan semaksimal yang ia bisa..

Hingga kini.. saya masih terus berusaha..

Yuupp… memang perjalananan masih panjang. Saya tidak akan pernah mau membandingkannya dengan anak-anak seusia yang sudah hapal surat-surat pendek, sudah memasuki jilid tertentu dari rangkaian “Qiroati” atau hal-hal lain. Saya sudah cukup banyak bersyukur ketika : Sesekali, disaat masuk waktu sholat (kadang kala tanpa mendengar suara adzan, mungkin ada “jam” tersendiri ya dalam dirinya) Aini bergegas mengambil sajadah.., mencari-cari mukenanya.. tanpa disuruh. Atau.. tiba-tiba, ia melagukan beberapa ayat-ayat suci Al-Qur’an.. dengan bahasa sederhananya. Atau mengucapkan doa-doa harian ketika akan melakukan suatu aktifitas.

Saya makin yakin.. anak-anak istimewa sebenarnya teramat sangat dapat belajar agama. Asalkan kita mau mengkondisikan. Biarkan saja, mereka menerimanya sebagai bagian dari rutinitas dan bukan bagian dari keyakinan. Pada saatnya nanti.. jika telah sampai waktu yang Allah ijinkan, pasti pemahaman ini akan datang dengan sendirinya. Metode yang sama, dengan pelajaran membaca, menulis dan berhitung yang susah payah kita ajarkan pada mereka.

Tidak boleh putus asa.. dan terus… terus… mau berupaya.., Allah tidak melihat hasil akhir dari perbuatan kita, tetapi bagaimana upaya kita mempersiapkan dan memperjuangkan. Kalimat-kalimat yang terus-menerus saya ulang berkali-kali, agar tetap bersemangat.

Paling tidak.. jauh dalam lubuk hatiku.. saya berharap : Jika ternyata dengan segala upayaku.. Aini tetap tak mendapatkan “dunia”.. semoga Allah masih ijinkan ia untuk meraih “Akhirat”. Insya Allah Ia akan menghadap panggilanNYA, suatu hari nanti, dengan kepasrahan dan keyakinan seorang muslimah sejati. Amin

by: yanti

sumber: http://cahayamuslimah.com/blog/aroma-ke-agama-an-di-anak-berkebutuhan-khusus

Pencari Bakat Anak Berkebutuhan Khusus

Tidak ada kesejarahan yang menyebabkan keterlibatannya dengan dunia orang-orang berkebutuhan khusus, kecuali latar belakang kuliahnya di IKIP Yogyakarta, Jurusan Pendidikan Luar Biasa. Tidak banyak pula orang yang berusaha menampilkan orang-orang berkemampuan khusus ini secara massal dalam sebuah gerakan.Orang yang melibatkan diri dalam dunia orang-orang berkebutuhan khusus dalam satu kehebohan massal itu adalah Ciptono.Kehebohan terjadi pada suatu hari di tahun 2002. Pada hari itu, jalan-jalan protokol Kota Semarang dipadati arak-arakan mereka yang berkebutuhan khusus, mulai dari tunanetra, tunarungu, tunadaksa, dan tunagrahita. Mereka berjalan perlahan, merayap di atas kursi roda bersama orangtua dan guru-guru sekolah luar biasa. Hari itu sekan-akan menjadi ”hari mereka yang berkebutuhan khusus”.”Tujuan saya mengadakan acara bagi mereka yang berkebutuhan khusus itu tidak lain untuk mencari bakat-bakat terpendam yang ada pada diri mereka. Ternyata saya memang bisa menemukan bakat-bakat mereka,” kata Ciptono.Dia mengenang kiprahnya di balik penyelenggaraan acara bertajuk ”Lomba Jalan Sehat Keluarga Pendidikan Luar Biasa” itu.Pria kelahiran Salatiga, Jawa Tengah, ini ditemui di Jakarta pekan lalu seusai menerima penghargaan ISO 2009 di Lampung.Ciptono lalu menjelaskan latar belakang diadakannya acara jalan sehat itu. Acara tersebut diselenggarakan agar para siswa berkebutuhan khusus bisa tampil lebih percaya diri di tengah masyarakat. Prinsipnya, kata Ciptono, ”Mereka (berkebutuhan khusus) tidak perlu dikasihani, tetapi harus diberi kesempatan.”Maka, acara itu kemudian digunakan sebagai kesempatan bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk menampilkan kemampuannya, di bidang seni maupun keterampilan.Dari acara terbesar pertama di Semarang bagi mereka dengan kebutuhan khusus ini ditemukanlah Delly Meladi, penyandang tunanetra bersuara merdu yang mampu menghafal lebih dari 1.000 lagu. Penyandang tunanetra lainnya, Mega Putri, ditemukan sebagai pembaca puisi. Ada lagi Bambang Muri, penyandang tunagrahita, yang sama seperti Delly pandai bernyanyi.Ciptono tidak menyangka bahwa kegiatan jalan sehat itu telah melahirkan efek domino yang baik bagi perubahan mereka dengan kebutuhan khusus. Selain bisa muncul dari panggung ke panggung, suara mereka juga direkam dalam bentuk kaset atau video compact disc (VCD).Sampai sekarang Ciptono telah menghasilkan lima VCD dan satu kaset. Salah satunya adalah VCD yang dikeluarkan Badan Koordinasi Pendidikan Luar Biasa Jawa Tengah berlabel Keplok Ora Tombok (ikut bersenang-senang tanpa membayar).VCD itu menampilkan Delly, Mega, dan Bambang. Penari latar yang mengiringi ketiga penyanyi itu pun berasal dari siswa-siswi SMALB C/D1 YPAC Semarang.”Pokoknya semua yang terlibat di dalamnya adalah anak-anak berkebutuhan khusus,” kata Ciptono.Orangtua mampuSetelah lulus dari Universitas Negeri Yogyakarta (dulu bernama IKIP Yogyakarta) tahun 1987, Ciptono langsung mengajar di SLB Wantu Wirawan Salatiga dengan gaji Rp 5.000 per bulan plus Rp 700 untuk uang transpor.Dia berkisah, uang sebesar itu habis dalam waktu lima hari saja. Untunglah, karena orangtuanya terbilang mampu, ongkos transportasi sehari-hari ditanggung ayahnya, Jayin Hartowiyono. Sementara sang ibu, Suntianah, menyerahkan semua keputusan untuk tetap mengajar di SLB kepada Ciptono.Dia mengaku, jiwa sosial untuk menolong anak-anak berkebutuhan khusus itu muncul sejak lulus SMA tahun 1982.”Maunya lulus Fakultas Kedokteran UGM karena saya bercita-cita menjadi dokter. Tetapi, karena diterimanya di IKIP Jurusan Pendidikan Luar Biasa, ya saya harus mengajar di SLB,” katanya.Meski orangtuanya cukup berada karena memiliki armada bus Gotong Royong dan Hidayah di kota kelahirannya, Salatiga, saat masih kanak-kanak Ciptono dititipkan kepada neneknya dengan pendidikan ”keras”. Ia mengaku, neneknyalah yang mendidiknya untuk mencintai sesama, khususnya mereka yang tidak mampu dan berkekurangan.”Boleh dibilang saya dilatih (Nenek) untuk tidak tegaan,” katanya.Tahun 1989 ia mengajar Pendidikan Sejarah dan Perjuangan Bangsa dan dasar-dasar pendidikan luar biasa di pendidikan guru agama negeri. Pada tahun itu juga ia menjadi calon pegawai negeri sipil SLB C YPAC Semarang. Dari keseringannya bergaul dengan mereka yang berkebutuhan khusus, Ciptono mulai menemukan kenyataan bahwa di antara anak-anak itu ada yang memiliki bakat khusus.Misalnya, ia menemukan Andi Wibowo, penyandang tunagrahita yang mampu menggambar dengan menggunakan dua tangan secara bersamaan. Andi ”hanya” memiliki IQ 60, di mana umumnya, menurut Ciptono, anak-anak itu ber-IQ 90.Untuk memunculkan anak-anak berkebutuhan khusus yang punya kemampuan khusus, ada saja acara yang dia ciptakan setiap tahun, mulai dari donor darah, halalbihalal, sampai merayakan Natal. Semua acara itu selalu melibatkan siswa-siswi berkebutuhan khusus. Sampai-sampai saat mereka tampil di sebuah mal pada 19 Desember 2008, banyak orang tidak percaya bahwa itu suara asli mereka yang berkebutuhan khusus.”Mereka tahunya itu suara pura-pura atau tiruan, bukan suara mereka yang sebenarnya. Padahal, itu asli suara mereka dengan kebutuhan khusus, mulai dari tingkat SD sampai SMA,” tutur Ciptono.Tujuh rekorAtas prestasinya memberdayakan anak-anak berkebutuhan khusus, Ciptono yang pada 2003 menyabet juara I Lomba Mengarang dan Pidato Antarguru SLB se-Jawa Tengah itu mendapat berbagai penghargaan dari dinas pendidikan sampai Departemen Pendidikan Nasional.Ia juga memperoleh tujuh rekor Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) atas kepeduliannya kepada anak-anak berkebutuhan khusus. Penghargaan lainnya adalah sebagai guru SLB berdedikasi tinggi dari dinas pendidikan setempat pada tahun 2003. Tahun 2005 ia menerima penghargaan sebagai guru berdedikasi tinggi dari Mendiknas Bambang Sudibyo, dan tahun 2006 menjadi juara guru kreatif.Agustus 2008 Ciptono menyabet juara pertama lomba manajemen pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus tingkat nasional.”Saya mendapat hadiah Rp 10 juta dari Gubernur Jawa Tengah atas prestasi ini,” kata Ciptono yang tiga kali mendirikan SLB, yakni SLB Hajjah Sumiati, SD Bina Harapan, dan belakangan ini ia membuka sekolah di garasi untuk anak-anak berkemampuan khusus.Jabatan formal Ciptono adalah Kepala Sekolah SLBN Semarang yang membawahkan 60 karyawan dan guru. Sepuluh di antaranya sudah menjadi pegawai negeri sipil, sedangkan selebihnya masih sebagai tenaga honorer.Uniknya, 20 persen karyawannya itu haruslah dari anak-anak berkebutuhan khusus. Sekarang ini, misalnya, dikaryakan dua penyandang tunadaksa, dua penyandang tunarungu, dan satu penyandang tunanetra.”Asisten guru pun diangkat dari anak-anak berkebutuhan khusus ini,” kata Ciptono menambahkan.

sumber: http://adindachaniagotnnr07.blogspot.com/2009/05/pendidikan-khusus-2.html

Rumah Cinta Anak-anak Spesial

Seperti semua anak lainnya, anak-anak autis pun punya hak atas pendidikan dan terapi. Namun pada kenyataannya, hak-hak mereka sering terabaikan. Lebih-lebih mereka yang lahir dari keluarga tak mampu.
-----

Ismunawaroh bukan ibu dari anak autis. Tapi ia tahu betul bagaimana perjuangan orang-orangtua yang punya anak autis. “Punya anak autis itu tidak hanya menguras dompet, tapi juga betul-betul menguras air mata,” katanya. Tahun 2004, perempuan yang biasa dipanggil Isti ini bekerja sebagai terapis di sebuah lembaga terapi anak autis di Bekasi. Di situ ia mulai mengamati betapa biaya terapi buat anak autis benar-benar tidak terjangkau oleh mereka yang berasal dari keluarga tak mampu.

Salah satu anak autis yang ia tangani adalah Ana, yang waktu itu berusia 2,5 tahun. “Anaknya sangat hiperaktif!” kata Isti menggambarkan kondisi Ana saat pertama dibawa ke pusat terapi. Sudah hiper, sangat pula. Bisa dibayangkan betapa repot kedua orangtuanya.

Perawakannya kecil tapi aktifnya luar biasa. Tidak bisa diam, selalu lari ke sana kemari. Jika berjalan, apa saja yang berada di depannya akan ditabrak. Di usianya yang sudah menginjak 2,5 tahun, ia masih belum bisa berkomunikasi sama sekali. Tidak ada satu pun kata yang keluar dari mulutnya. Ia seperti hidup di dunianya sendiri, tidak punya kontak mata dengan orang lain.

Bapaknya, Yasmir, seorang Satpam dengan penghasilan Rp 700 ribu sebulan. Sedangkan biaya terapi Ana waktu itu Rp 1,2 juta sebulan. Besar pasak daripada tiang. Karena tak kuat membayar biaya terapi, Yasmir akhirnya menghentikan terapi buat Ana meskipun ia kewalahan merawat anaknya. Ketika pamit dari pusat terapi, Yasmir sempat curhat kepada Isti. Curhat Yasmir yang mengharukan itu ternyata begitu membekas di pikiran Isti sampai membuat ia berkeinginan membuat pusat terapi sendiri khusus buat anak-anak dari keluarga tak mampu.

“Sebetulnya pusat terapi autis cukup banyak, tapi kebanyakan masih tak terjangkau oleh keluarga miskin,” kata Isti. Ini pun masih ditambah oleh rendahnya kesadaran orangtua untuk memberikan terapi dan menyekolahkan anak autis. Maklum, masih banyak orangtua yang bahkan belum pernah mengerti apa itu autis.

Di Indonesia, pendidikan untuk anak-anak autis ini bisa dibilang belum mendapatkan perhatian dari Departemen Pendidikan Nasional. Biasanya mereka ditampung di Sekolah Luar Biasa (SLB). Padahal, kondisi masing-masing anak autis ini sangat khas dan membutuhkan penanganan yang individual. Tidak semua dari mereka mengalami retardasi mental. Tak sedikit anak autis yang sangat cerdas. Karena itu mereka tidak bisa begitu saja ditangani dengan cara pendidikan SLB. Anak-anak itu harus diperlakukan sesuai kondisi mereka, apa adanya.

Bersama Henny Marifah, teman sesama terapis, Isti kemudian mematangkan rencana. Tapi mereka berdua terkendala masalah biaya. Soalnya, untuk membuat pusat terapi autis tidak semudah membuat taman kanak-kanak atau taman bermain. Alat terapi dan bermain harus didesain secara khusus. Terapis juga harus mendapatkan pelatihan khusus. Itu semua membutuhkan biaya yang cukup banyak.

Beruntung, Isti dan Henny kenal dengan pasangan suami-istri yang punya kepedulian serupa, Deka Kurniawan dan Laeli Ulfiati. Gayung pun bersambut. Deka, yang berprofesi sebagai wartawan dan punya banyak kenalan, kemudian bertindak sebagai eksekutor. Dengan modal tekad, di akhir 2004, mereka mendirikan Yayasan Cahaya Keluarga Kita (YCKK) untuk mewujudkan ide membuat pusat terapi autis.

Dengan dibantu Hambali, adik Deka, mereka menyulap rumah kontrakan keluarga Deka di Bekasi yang sederhana menjadi tempat terapi. Bagian dalam rumah disekat-sekat dengan tripleks. Satu kamar digunakan sebagai ruang pribadi untuk keluarga Deka, sisanya untuk ruang terapi. Isti dan Henny mengundurkan diri dari tempat kerja mereka dan menjadi terapis penuh waktu di Rumah Autis yang mereka rintis.

Ana yang baru saja putus terapi menjadi murid pertama di situ, bersama tiga anak lainnya: Sarah (8 tahun), Asril (5 tahun), dan Khalid (7 tahun). Semuanya berasal dari keluarga dengan penghasilan beberapa ratus ribu sebulan. Deka, Laeli, Isti, dan Henny bukan hanya harus bekerja tanpa bayaran, tapi juga harus menanggung semua biaya yang dibutuhkan untuk kelangsungan Rumah Autis.

Dengan memanfaatkan jaringannya sebagai wartawan, Deka berjibaku mencari donatur. Usahanya tak sia-sia. Setelah berjuang pontang-panting, ia berhasil mengetuk hati beberapa donatur, di antaranya Hidayat Nurwahid (ketua MPR), istri Duta Besar Uni Eropa, Pemerintah Daerah Bekasi, dan banyak donatur lainnya. Sebagian menyumbang uang, mainan, komputer, dan lain-lain.

Dengan bantuan donasi itulah mereka mencukupi kebutuhan biaya Rumah Autis. Pelan-pelan Rumah Autis pun menambah murid baru. Para orangtua anak autis itu tidak diwajibkan membayar. Mereka hanya menyumbang semampu mereka. Ada yang menyumbang uang sekadarnya, menyumbang makan siang, makanan kecil, kue, pisang goreng, bala-bala, bahkan ada pula yang menyumbangkan tenaga membersihkan rumah. Meskipun nilai materialnya tidak begitu besar, sumbangan itu menyalakan semangat dan kesabaran para terapis yang tiap hari harus berjuang melawan stres karena menangani anak-anak yang susah diatur.

Pihak yayasan bahkan ikut membantu membina keluarga yang tingkat kemiskinannya mungkin sampai di luar bayangan kita. Seperti yang terjadi pada keluarga Hamzah, salah satu murid. Ibunya, yang menjadi tulang punggung ekonomi keluarga, berjualan gorengan dengan penghasilan Rp 150 hari sebulan. Padahal ia harus menghidupi tiga orang anak, dan salah satunya autis.

Sehari-hari, Hamzah tidak mau makan nasi. Ia hanya mau makan kentang goreng terus-menerus. Ia juga punya masalah penglihatan. Kedua matanya yang plus sepuluh pernah dioperasi katarak. Kalau ia berjalan, meja, tembok, kursi, orang, apa saja akan ditabrak. Siapa saja yang berusaha menghalangi jalannya akan ia cakar, gigit, dan tendang, tak peduli siapa pun dia. Bisa dibayangkan betapa repot si ibu yang harus merawat Hamzah. Oleh pihak yayasan, Hamzah, yang rumahnya di Cijantung, Jakarta Selatan, kemudian dicarikan kontrakan yang dekat dengan Rumah Autis di Bekasi.

Kesabaran tak ada batasnya
Sembari jumpalitan mencari donatur, Deka juga berkeliling mencari tenaga relawan yang bersedia bekerja tanpa gaji. Para relawan terapis dan asisten terapis itu setiap hari harus bersedia dicakar, digigit, ditendang, atau dilempari papan tulis oleh anak-anak yang hiperaktif. Selain berhasil merekrut para terapis, Deka juga berhasil mengajak dua orang dokter untuk bergabung. Tugas mereka, secara berkala datang ke Rumah Autis untuk memeriksa kesehatan anak-anak autis di situ. Tanpa bayaran.

Setelah terjun total di dunia terapi autis, Isti, yang pernah dilempari papan sampai bibirnya pecah, mengaku memperoleh pelajaran besar dalam hidupnya. “Kesabaran itu seperti samudera,” katanya. Kita tidak tahu di mana batas kesabaran itu karena saking luasnya. Tidak seperti pandangan umum yang menyatakan bahwa kesabarana ada batasnya.

Dengan keikhlasan dan kesabaran yang luar biasa dari semua relawan, Rumah Autis sedikit demi sedikit terus beranjak menjadi lebih profesional dan tertata. Dengan bantuan donatur, Rumah Autis kemudian bisa menyewa sebuah ruko berlantai dua di daerah Jati Kramat, Bekasi. Seiring dengan makin banyaknya murid yang diterima, sedikit demi sedikit tenaga terapis dan guru juga ditambah. Maklum, proses terapi anak autis harus dilakukan satu guru satu murid. Kriteria para terapis yang direkrut pun tetap sama: bersedia bekerja dengan imbalan seadanya, dan tiap hari harus bersedia dicakar, digigit, dan ditendang anak-anak.

Kini kegiatan Rumah Autis bukan hanya sebagai pusat terapi, tapi juga menyelenggarakan sekolah khusus buat anak-anak autis. Dengan jumlah terapis (plus asisten) 13 orang, Rumah Autis kini menangani 55 anak. Jumlah yang cukup besar untuk ukuran sebuah yayasan yang dibangun dengan modal tekad saja.

Sebagian besar murid berasal dari keluarga tak mampu. Mereka hanya bisa berkontribusi seratus atau beberapa ratus ribu rupiah sebulan. Angka ini terbilang jauh dari semestinya karena biaya terapi anak autis normalnya sekitar Rp 60 ribu per jam. Untungnya, sebagian orangtua murid termasuk keluarga mampu. Mereka ini sekaligus bertindak sebagai donatur yang bersedia membayar lebih tinggi untuk subsidi silang.

Saat ini Rumah Autis bahkan sudah punya empat cabang yang tersebar di Gunung Putri (Bogor), Tanjung Priok (Jakarta Utara), Tangerang dan Depok. Kini, tiap hari Rumah Autis Bekasi selalu ramai oleh “anak-anak spesial”. Ini sebutan sayang untuk mereka, selain sebutan “anak-anak berkebutuhan khusus”.

Secara fisik, mereka tidak jauh berbeda dari anak-anak kebanyakan. Ana, murid pertama yang kini berusia 6 tahun, sudah bisa membaca dan berkomunikasi. Hiperaktifnya juga sudah bisa dikendalikan. Sarah, yang dulu dulu dijuluki “tsunami” (karena apa saja ditabrak kalau berjalan), kini sudah masuk sekolah khusus, komunikasinya juga sudah lancar. Ia sudah mandiri, bisa mandi dan memakai pakaian sendiri, bisa memasak, membuat jus, teh, dan mengurus diri sendiri.

Kini, di usia Rumah Autis tahun kelima, Isti mengaku masih punya obsesi membuat tempat khusus untuk mempekerjakan karyawan autis. Sekarang, keinginan ini memang masih sebatas cita-cita. Tapi Isti yakin, cita-cita itu akan terwujud kelak dengan modal ikhlas dan sabar. Itu adalah dua bekal utama saat mereka pertama menjadikan rumah kontrakan Deka sebagai tempat terapi autis. “Kami tidak punya materi yang bisa diberikan kepada mereka, tapi kami punya tenaga dan pikiran yang mungkin bisa bermanfaat buat mereka.” Itulah cara mereka berbagi. (M. Sholekhudin)


sumber: http://emshol.multiply.com/journal/item/505/Rumah_Cinta_Anak-anak_Spesial_