“Mana mungkin anakku bisa mengi-kuti Pesantren Ramadhan seperti itu” gumam salah seorang ayah siswa Santi Rama, pada waktu menyaksikan tayangan televisi mengenai kegiatan Pesantren Ramadhan untuk anak-anak yang mendengar. Begitulah ungkapan tulus yang meluncur dari lubuk hati yang paling dalam seorang ayah yang diwarnai rasa iri.
Orangtua manakah yang tidak senang jika putranya bisa mengikuti kegiatan yang biasa dilakukan oleh anak pada umumnya. Kerinduan dan rasa iri hati untuk memandikan putranya dalam kegiatan keagamaan sedini mungkin selayaknya anak pada umumnya terobati sewaktu Santi Rama mengadakan Pesantren Ramadhan. Kesejukan hati terpancar di raut wajahnya yang berseri-seri, setelah mengikut-sertakan putranya dalam kegiatan Pesantren Ramadhan. Apalagi setelah menyaksikan para santri Santi Rama mengenakan baju muslim. Di dalam hatinya ia bersukur:
“Terima kasih ya Allah, Engkau telah membuka jalan untuk anak-anak tunarungu mengenalMu sejak dini. Yang semula masih menjadi tanda tanya, sekarang terjawab sudah. Ternyata dulu saya katakan tidak mungkin sekarang menjadi serba mungkin”.
Demikianlah ungkapan rasa syukur seorang ayah, yang disampaikan dalam sambutan membuka kegiatan Pesantren Ramadhan tahun 2003 ini. Tentu saja disertai dengan harapan agar putra-putrinya akan menjadi lebih baik dalam beribadah dan bersikap sehari-hari. Sebagi contoh bagi anak yang sulit bangun untuk sahur menjadi mudah bangun, bagi anak yang belum biasa shalat berjamaah, menjadi terbiasa, bagi anak yang belum biasa berdo’a sebelum/sesudah makan, dan sebelum/setelah bangun tidur, jadi tahu cara mengerjakannya, anak yang belum biasa mengerjakan shalat tepat waktu menjadi terbiasa dan seterusnya.
Di samping itu karena anak bermalam di sekolah terpupuk pula sikap kemandirian-nya karena terpisah dari orangtuannya yaitu menjadi mampu mengurus keperluan diri sendiri seperti, mandi, merapikan tempat tidur dan sebagainya. Harapanya adalah agar apabila anak kembali ke rumah masing-masing mereka akan terus mene-rapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Gayung ber-sambut, harapan orangtua tersebut dapat tertampung dalam program kegiatan Pesantren Ramadhan. Kegia-tan ini bertujuan agar semua pe-serta mengerti mengenai apa saja yang semestinya dikerjakan seseorang yang sedang melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Pesantren ini dirancang dengan berbagai kegiatan yang menarik dan efektif bagi anak tunarungu. Semua pelajaran selalu diawali dengan suatu pengalaman bersama, di mana anak dapat merasakan, melihat dan mela-kukan/menjalani segala sesua-tunya bersama. Kemudian hal yang menjadi pengalaman bersama itu dipercakapkan sehingga mening-galkan kesan yang lebih mendalam dan tidak akan cepat dilupakan oleh anak. Hal itu sejalan dengan prinsip-prinsip pengajaran bahasa bagi anak tunarungu. Dengan demikian diharapkan bahwa hasilnya bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kegiatan Pesantren Rama-dhan tahun ini dikemas sedikit berbeda dengan kegiatan tahun sebelumnya. Kegiatannya hadir cantik, karena materinya tidak hanya materi keagamaan saja, tetapi ditambah dengan
Bimbingan Pribadi Siswa, yaitu berupa Bimbingan Keluarga untuk siswa kelas I - IV, Bimbingan Bagi Remaja dan Pencegahan Bahaya Narkoba untuk kelas V - VIII. Kegiatan Bimbingan Pribadi ini diikuti oleh semua siswa Santi Rama (muslim dan non muslim), serta melibatkan semua guru. Hal ini dilakukan agar dalam waktu yang disediakan pada bulan Ramadhan ini, semua siswa dapat dibina agar memiliki sifat-sifat yang baik sehingga berbudi pekerti yang luhur. Dalam kegiatan Bimbingan Keluarga anak dibina agar santun dalam bergaul di keluarganya masing-masing yaitu santun dalam memperlakukan kedua orangtuanya dan saudara-nya. Dalam Bimbingan Remaja anak dibina guna mengenal perkembangan dirinya sendiri sebagai remaja, cara merawat dirinya, sopan santun dalam pergaulan dengan sesama dan sebagainya.
Dalam Bimbingan Bahaya Narkoba anak dibina agar bisa mengatakan “tidak” terhadap narkoba yaitu tidak mau mencobanya bila diberi, tidak mau membelinya, tidak mau mema-kainya karena tahu akan akibatnya yang berbahaya.
Dalam kegiatan pesantren anak-anak merasa senang karena sepanjang hari bisa bersama-sama dengan teman sesama tunarungu. Sebelum berbuka ada kultum yang berisi nasehat bagaimana cara berbuka yang sebenarnya, berdo’a bersama sebelum berbuka, cara makan yang sopan, selesai makan harus bagaimana, semua itu disampaikan lewat percakapan. Bila ada anak yang belum benar melakukan ibadah (berwudhu), langsung diberi contoh yang seharusnya. Mereka senang bisa shalat wardhu dan tarawih bersama-sama. Juga bisa mengaji di bawah bimbingan bapak dan ibu guru. Pada waktu makan sahur dibangunkan bersama-sama, diantar ke ruang makan bersama-sama, dan sesudah makan sahur diajak shalat Subuh berjamaah. Kalau mengantuk sesudah Subuh boleh tidur lagi. Anak laki-laki yang tidak ngantuk boleh main bola. Dengan jadwal yang ketat, secara tidak langsung displin anak dilatih juga.
Kegiatan Pesantren Rama-dhan diakhiri dengan Kegiatan Bhakti Sosial. Telah dipercakapkan di kelas-kelas beberapa waktu sebelumnya agar anak-anak mengumpulkan mie instan dan alat tulis, untuk disumbangkan kepada saudara-saudaranya yang kurang beruntung karena tekena gusur. Beberapa anak sebagai perwakilan dari kelas diajak langsung ke lokasi guna menyumbangkan barang-barang tersebut. Kegiatan ini diadakan guna memupuk empati yaitu, menumbuh suburkan sikap ingin berbagi rasa dengan orang lain yang kurang beruntung dan memupuk jiwa sosial antar sesama.
Siapa yang mengurusi konsumsi untuk kegiatan ini? Ada sekelompok ibu-ibu siswa-siswi kami yang selalu peduli dan setia serta bersedia untuk dengan ikhlas menyiapkan segala kebutuhan makan dan minum selama berlangsungnya kegiatan Pesan-tren Ramadhan, termasuk juga memikirkan uang lelah bagi para pembimbingnya.
Terima kasih semuanya semoga kebaikan mereka dibalas oleh Yang Maha Kuasa. Amiin!
sumber: http://santirama.sch.id/index.php?option=com_content&task=view&id=59&Itemid=79
Rabu, 19 Mei 2010
Sentuhan Ibu
Sumber : Intisari (2006-02-17)
Jakarta, Rabu
Di balik kekurangan, terselip kelebihan. Di balik kesulitan, terbuka peluang.
Heru Bodro Yuwono, yang sejak lahir menderita cacat fisik, percaya betul bahwa derita tunarungu bawaannya bukan akhir hidupnya. Tak hanya hidup normal, Ia bahkan mampu meraih mimpi masa kecilnya, menjadi arsitek.
Sri Soelarmi membuka kamar anak bungsunya. Bocah berusia sembilan bulan kelahiran 3 September 1971 itu tampak asyik bermain di tempat tidur. “Mas Heru!” panggilnya. Namun, si bungsu seolah tak peduli. Ia tetap asyik dengan mainannya. Seringnya kejadian seperti itu membuat Soelarmi was-was. “Jangan-jangan airmatanya langsung menetes.
Dua dari tujuh anaknya menderita tunarungu. Apakah Heru juga bernasib sama?
Padahal, ketika lahir ia menangis keras. Lucu sekali melihat wajahnya yang bulat mengucapkan kata “mam” saat ingin makan, atau “mama” ketika memanggil ibunya. Bahkan, bila setiap pagi melepas ayahnya, Soenoe Hidigdo (almarhum) yang berdinas di Departemen Pendidikan & Kebudayaan, berangkat kerja, Heru mungil menggoyang tangan sambil berkata, “Dah!.
Kebahagiaan itu berakhir sewaktu dokter THT memvonis, Heru menderita tunarungu. Walau hatinya terguncang, Soelarmi sudah lebih siap, mengingat kedua anaknya terdahulu, Agus dan Nur, juga bernasib sama.
Bangun Percaya Diri
* “Saya sendiri tak tega mengatakan dirinya tunarungu,” sendu suara Soelarmi.
Namun semasa kecil, Heru sudah merasa dirinya amat berbeda dengan teman-teman sepermainannya. Agak sulit ia memahami perkataan teman-temannya sehingga, “Kami akhirnya sering menggunakan bahasa tubuh.”
Meski tiga anaknya menderita tunarungu, Soelarmi tak patah Semangat. Pasalnya, ia merasa anak-anaknya memiliki kecerdasan yang memadai. Ia bertekad memperjuangkan persamaan hak mereka dengan anak normal dalam bidang pendidikan.
“Saya akan arahkan mereka, agar kelak dapat mengandalkan kemampuan diri sendiri.”
Karenanya, Heru dan kedua kakaknya sejak dini dimasukkan ke TLO (Taman Latihan Observasi) Santi Rama di Cilandak, Jakarta, lalu meningkat ke SLB (Sekolah Luar Biasa) Santi Rama. Heru anak yang ramah, temannya banyak. Meski pendiam, ia bukan anak pemalu. Ia punya sejumlah teman dekat, yang sering diajaknya menginap di rumah bila libur.
Kebetulan, menurut Soelarmi, Heru bukan termasuk anak sulit. Selain tidak nakal, ia tergolong patuh dan disiplin. “Kalau ada keinginan yang tak dikabulkan, ia tak pernah ngambek atau marah-marah. Paling menangis, tapi tak ditunjukkannya,” kisah ibu yang menjual tanah keluarga di Tulungagung, kemudian pindah ke Balekambang, Condet, Jakarta Timur, itu. Bersama suami, ia ikut mendirikan SLB Frobel Montessori tahun 1982.
Di rumah, ibu lulusan SKP (Sekolah Kepandaian Putri) ini mendorong Heru agar selain menggunakan bahasa isyarat, juga belajar berbicara seperti orang biasa, “Supaya ia juga bisa berkomunikasi dengan orang normal.”
Sikap orangtua yang tak merasa malu memiliki anak tunarungu ikut membangun rasa percaya dirt Heru. Apalagi, “Setiap aku naik kelas, sama seperti anak-anak lainnya, Bapak dan Ibu selalu memberiku hadiah,” kenang Heru.
Berbeda dengan teori, bahwa fantasi anak tunarungu terbatas, pada Heru hal itu ternyata tidak berlaku. Imajinasinya kuat. Ia ekspresikan dalam hasil gambar yang cukup kuat. Oleh sebab itu, seraya mempertebal rasa percaya diri serta mengikis rasa ragu-ragu dan khawatir, Soelarmi mendorong Heru ikut lomba menggambar. Hasilnya sungguh manis. Di TLO Santi Rama, Heru menjadi juara I. Sedangkan di SLB Santi Rama, ia berhasil meraih posisi juara III.
Menggapai Cita-cita
* Usai Heru menyelesaikan pendidikan dasar di SLB Santi Rama, Soelarmi berkeras agar Heru melanjutkan pendidikan ke sekolah umum.
Kehendak ini agak berbeda dari suaminya yang menganggap anaknya cukup mengikuti les saja. Ia yakin, Heru tak sulit bersosialisasi laiknya anak normal. Heru sendiri menyambut baik keinginan ibunya.
Sri Soelarmi sendiri selalu mendampingi ketika si bungsu harus ikut tes masuk. Heru akhirnya diterima di SMP Santo Markus, Cililitan. Sehari-hari, ia tak merasa minder bergaul dengan teman-teman sebaya yang normal. Bahkan, karena impulsnya berkembang wajar seperti anak remaja lainnya, ia pun merasa tertarik pada lawan jenis. Tapi, sang ibu mengingatkan,
“Boleh pacaran kalau sudah selesai kuliah, dan boleh menikah sesudah bekerja. Jangan sampai cita-cita menjadi insinyur kandas di tengah jalan.”
Ketika melanjutkan sekolah menengah ke SMA Vianney Kebon Jeruk, Jakarta Barat, kegiatan sehari-hari Heni bukan hanya bersekolah. Soelarmi memacu Heru ikut les bahasa dan mata pelajaran di Santa Lusia, Cililitan. Selain itu, sejak SD ia aktif di Gerakan Pramuka, organisasi khusus penyandang tunarungu, serta di Mudika (Muda-mudi Katolik).
Langkah Heru untuk mencapai cita-cita makin menggelora. Ia tak terlalu sulit mencerna seluruh pelajaran di kelas. Bahkan sejak SMP ia sudah sangat menyukai pelajaran matematika. Tak heran nilai matematika di rapornya selalu tercetak angka 8. Kendala hanya terjadi ketika dia harus berkomunikasi dengan guru atau teman.
Terutama dalam pelajaran Bahasa Indonesia, “Aku sering salah tafsir dan salah jawab, karena aku kurang mengerti tata bahasa orang normal. Sejumlah kata bahkan terasa rumit sekali untuk dimengerti," aku Heru.
Untunglah, teman-temannya begitu terkesan akan sikapnya yang tak mudah patah semangat dan gemar membaca. Dengan senang hati, mereka mengajari remaja yang tim tarik tambangnya sejak SMP selalu meraih gelar juara I itu. Kalaupun komunikasi mentok, “Terpaksa kami menggunakan kertas, Komunikasi lewat tulisan itu kadang justru lebih efektif.”
Selepas SMA, pemuda yang selalu naik kendaraan umum ini sudah betul-betul mantap pada cita-citanya menjadi insinyur! Target itu seolah sudah menjadi harga mati yang tak bisa ditawar lagi. Ia kemudian mendaftarkan diri di Fakultas Teknik Universitas Trisakti jurusan Arsitektur. “Aku lulus tes masuk karena bisa menggambar botol Coca Cola seperti aslinya,” kenang Heru.
Bakat menggambarnya memang cukup menonjol. Itu sebabnya, dalam tugas kelompok, Heru biasanya kebagian tugas menggambar, sementara teman-temannya yang lain menjawab pertanyaan. Bisa dibayangkan betapa pentingnya peran kertas buat Heru. Selain bermanfaat untuk memecahkan kesenjangan dalam berkomunikasi, kertas juga memungkinkannya melampiaskan ekspresi dan fantasi lewat gambar.
Begitu gigihnya Heru, membuat banyak teman dan dosen jatuh simpati padanya. Di luar kampus pun Heru tetap berprestasi. Antara lain, menjadi juara III Lomba Abang-None Jakarta, khusus penyandang kelainan, di Balai Kota kantor Gubernur DKI Jaya, Desemher 1996. Di samping ditanyai tentang makanan khas Betawi, Yogyakarta, dan Sunda, “Wah, aku juga diminta joget Betawi, Heru senyum dikulum.
Hebatnya, keterbatasan fisik tak membuat Heru berpikir untuk memanjakan tubuhnya. Tahun 1997, ia ikut berlatih di Merpati Putih hingga mencapai tingkat Balik 2. Ia pun ikut aktif dalam pergerakan mahasiswa proreformasi. Dalam Peristiwa Trisakti Mei 1998, ia tampil sebagai relawan pemasok makanan. Untuk menghindari hujan tembakan, ia harus bersembunyi masuk selokan,
Akhirnya, tibalah mahasiswa istimewa ini di penghujung langkah. Gelar Sarjana Teknik ia peroleh pada 1999 dengan skripsi berjudul “Paroki dan Sarana Fisik Penunjangnya di Jakarta”. Sedangkan topiknya “Penerapan Simbolisme Kristiani pada Bangunan Gereja Katolik dan Gedung Paroki”. Skripsi ini mendapat nilai B (memuaskan).
“Mendengar” kebahagiaan
* Sudah mencapai” titik” puncakkah perjalanan Heru?
Ternyata belum sama sekali. Lulus kuliah, ia bekerja di SLB Santa Lusia di bagian komputer. Tiga tahun kemudian, ia pindah ke PT Mitra Muda. Walau pemiliknya kakak sendiri, Heru tetap bekerja keras, tak jarang harus lembur sampai malam. Ia bertugas menggambar desain rumah, ruko, dan sebagainya.
Heru merasa lingkungan selalu bersikap terbuka, memberinya kesempatan untuk mencapai apa yang juga bisa dicapai orang normal. Dulu, ia ingin sekali mengecap pendidikan tinggi. Lalu lingkungan membantunya hingga ia menjadi sarjana. Jika ia menyapa hangat, orang lain membalasnya dan mengajak mengobrol, walau sering salah tafsir, "Pengaruhnya jauhhh dan daleemmm banget,” akunya penuh perasaan.
Perasaannya memang halus. “Jika saya nasihati dengan kata-kata keras, ia langsung bersedih. Ketika Bapak meninggal dunia, ia juga sangat terpukul, kehilangan figur idealnya,” tutur Soelarmi.
Pernah, ketika ingin berlibur ke rumah kakaknya di Denpasar, ia ingin naik pesawat. lbunya melarang, karena baru ada pesawat jauh dan meminta banyak korban. “Tapi hidup mati ‘kan di tangan Yang Kuasa,” Heru bersikeras, Namun Soelarmi khawatir, jika dalam keadaan darurat Heru tak bisa mendengar instruksi kru pesawat. Karena kesal, ia bicara sambil membentak. Kelihatan ia sedih sekali. Akhirnya, ia pergi juga menggunakan jasa biro travel, dan saya bisa menitip pesan khusus ke sopirnya.”
Ada hal yang membuat pengagum tokoh komik Tintin ini merasa lengkap. Pada 2 Oktober 2002, ia menikahi Violina Oktarini Gunawan, penyandang tunarungu yang enam tahun lebih muda darinya. Vio, gadis cantik itu, menyempurnakan kebahagiaan Heru dengan memberinya seorang putra, Benedict Putra Yuwono, pada 4 Agustus 2003. Rumah mereka di Bekasi kini terasa riang oleh celoteh si mungil yang terlahir normal.
“Jika sudah punya modal dan kesempatan, aku ingin buka usaha sendiri dan membangun rumah dekat ibu, agar kami sekeluarga bisa berkumpul,” tulis Heru.
Soelarmi memang menjadi wanita yang sangat berarti buat Heru. Ditambah kehadiran anak dan istri, seolah tak pernah ada kebekuan dalam hidupnya. Di tengah kebisuan, ia seperti "mendengar"kebahagiaan memenuhi tiap ruang di rumahnya.
sumber:
(Kompas.com)Rabu, 02 Maret 2005, 10:04 WIB
http://santirama.sch.id/index.php?option=com_content&task=view&id=43&Itemid=79
Jakarta, Rabu
Di balik kekurangan, terselip kelebihan. Di balik kesulitan, terbuka peluang.
Heru Bodro Yuwono, yang sejak lahir menderita cacat fisik, percaya betul bahwa derita tunarungu bawaannya bukan akhir hidupnya. Tak hanya hidup normal, Ia bahkan mampu meraih mimpi masa kecilnya, menjadi arsitek.
Sri Soelarmi membuka kamar anak bungsunya. Bocah berusia sembilan bulan kelahiran 3 September 1971 itu tampak asyik bermain di tempat tidur. “Mas Heru!” panggilnya. Namun, si bungsu seolah tak peduli. Ia tetap asyik dengan mainannya. Seringnya kejadian seperti itu membuat Soelarmi was-was. “Jangan-jangan airmatanya langsung menetes.
Dua dari tujuh anaknya menderita tunarungu. Apakah Heru juga bernasib sama?
Padahal, ketika lahir ia menangis keras. Lucu sekali melihat wajahnya yang bulat mengucapkan kata “mam” saat ingin makan, atau “mama” ketika memanggil ibunya. Bahkan, bila setiap pagi melepas ayahnya, Soenoe Hidigdo (almarhum) yang berdinas di Departemen Pendidikan & Kebudayaan, berangkat kerja, Heru mungil menggoyang tangan sambil berkata, “Dah!.
Kebahagiaan itu berakhir sewaktu dokter THT memvonis, Heru menderita tunarungu. Walau hatinya terguncang, Soelarmi sudah lebih siap, mengingat kedua anaknya terdahulu, Agus dan Nur, juga bernasib sama.
Bangun Percaya Diri
* “Saya sendiri tak tega mengatakan dirinya tunarungu,” sendu suara Soelarmi.
Namun semasa kecil, Heru sudah merasa dirinya amat berbeda dengan teman-teman sepermainannya. Agak sulit ia memahami perkataan teman-temannya sehingga, “Kami akhirnya sering menggunakan bahasa tubuh.”
Meski tiga anaknya menderita tunarungu, Soelarmi tak patah Semangat. Pasalnya, ia merasa anak-anaknya memiliki kecerdasan yang memadai. Ia bertekad memperjuangkan persamaan hak mereka dengan anak normal dalam bidang pendidikan.
“Saya akan arahkan mereka, agar kelak dapat mengandalkan kemampuan diri sendiri.”
Karenanya, Heru dan kedua kakaknya sejak dini dimasukkan ke TLO (Taman Latihan Observasi) Santi Rama di Cilandak, Jakarta, lalu meningkat ke SLB (Sekolah Luar Biasa) Santi Rama. Heru anak yang ramah, temannya banyak. Meski pendiam, ia bukan anak pemalu. Ia punya sejumlah teman dekat, yang sering diajaknya menginap di rumah bila libur.
Kebetulan, menurut Soelarmi, Heru bukan termasuk anak sulit. Selain tidak nakal, ia tergolong patuh dan disiplin. “Kalau ada keinginan yang tak dikabulkan, ia tak pernah ngambek atau marah-marah. Paling menangis, tapi tak ditunjukkannya,” kisah ibu yang menjual tanah keluarga di Tulungagung, kemudian pindah ke Balekambang, Condet, Jakarta Timur, itu. Bersama suami, ia ikut mendirikan SLB Frobel Montessori tahun 1982.
Di rumah, ibu lulusan SKP (Sekolah Kepandaian Putri) ini mendorong Heru agar selain menggunakan bahasa isyarat, juga belajar berbicara seperti orang biasa, “Supaya ia juga bisa berkomunikasi dengan orang normal.”
Sikap orangtua yang tak merasa malu memiliki anak tunarungu ikut membangun rasa percaya dirt Heru. Apalagi, “Setiap aku naik kelas, sama seperti anak-anak lainnya, Bapak dan Ibu selalu memberiku hadiah,” kenang Heru.
Berbeda dengan teori, bahwa fantasi anak tunarungu terbatas, pada Heru hal itu ternyata tidak berlaku. Imajinasinya kuat. Ia ekspresikan dalam hasil gambar yang cukup kuat. Oleh sebab itu, seraya mempertebal rasa percaya diri serta mengikis rasa ragu-ragu dan khawatir, Soelarmi mendorong Heru ikut lomba menggambar. Hasilnya sungguh manis. Di TLO Santi Rama, Heru menjadi juara I. Sedangkan di SLB Santi Rama, ia berhasil meraih posisi juara III.
Menggapai Cita-cita
* Usai Heru menyelesaikan pendidikan dasar di SLB Santi Rama, Soelarmi berkeras agar Heru melanjutkan pendidikan ke sekolah umum.
Kehendak ini agak berbeda dari suaminya yang menganggap anaknya cukup mengikuti les saja. Ia yakin, Heru tak sulit bersosialisasi laiknya anak normal. Heru sendiri menyambut baik keinginan ibunya.
Sri Soelarmi sendiri selalu mendampingi ketika si bungsu harus ikut tes masuk. Heru akhirnya diterima di SMP Santo Markus, Cililitan. Sehari-hari, ia tak merasa minder bergaul dengan teman-teman sebaya yang normal. Bahkan, karena impulsnya berkembang wajar seperti anak remaja lainnya, ia pun merasa tertarik pada lawan jenis. Tapi, sang ibu mengingatkan,
“Boleh pacaran kalau sudah selesai kuliah, dan boleh menikah sesudah bekerja. Jangan sampai cita-cita menjadi insinyur kandas di tengah jalan.”
Ketika melanjutkan sekolah menengah ke SMA Vianney Kebon Jeruk, Jakarta Barat, kegiatan sehari-hari Heni bukan hanya bersekolah. Soelarmi memacu Heru ikut les bahasa dan mata pelajaran di Santa Lusia, Cililitan. Selain itu, sejak SD ia aktif di Gerakan Pramuka, organisasi khusus penyandang tunarungu, serta di Mudika (Muda-mudi Katolik).
Langkah Heru untuk mencapai cita-cita makin menggelora. Ia tak terlalu sulit mencerna seluruh pelajaran di kelas. Bahkan sejak SMP ia sudah sangat menyukai pelajaran matematika. Tak heran nilai matematika di rapornya selalu tercetak angka 8. Kendala hanya terjadi ketika dia harus berkomunikasi dengan guru atau teman.
Terutama dalam pelajaran Bahasa Indonesia, “Aku sering salah tafsir dan salah jawab, karena aku kurang mengerti tata bahasa orang normal. Sejumlah kata bahkan terasa rumit sekali untuk dimengerti," aku Heru.
Untunglah, teman-temannya begitu terkesan akan sikapnya yang tak mudah patah semangat dan gemar membaca. Dengan senang hati, mereka mengajari remaja yang tim tarik tambangnya sejak SMP selalu meraih gelar juara I itu. Kalaupun komunikasi mentok, “Terpaksa kami menggunakan kertas, Komunikasi lewat tulisan itu kadang justru lebih efektif.”
Selepas SMA, pemuda yang selalu naik kendaraan umum ini sudah betul-betul mantap pada cita-citanya menjadi insinyur! Target itu seolah sudah menjadi harga mati yang tak bisa ditawar lagi. Ia kemudian mendaftarkan diri di Fakultas Teknik Universitas Trisakti jurusan Arsitektur. “Aku lulus tes masuk karena bisa menggambar botol Coca Cola seperti aslinya,” kenang Heru.
Bakat menggambarnya memang cukup menonjol. Itu sebabnya, dalam tugas kelompok, Heru biasanya kebagian tugas menggambar, sementara teman-temannya yang lain menjawab pertanyaan. Bisa dibayangkan betapa pentingnya peran kertas buat Heru. Selain bermanfaat untuk memecahkan kesenjangan dalam berkomunikasi, kertas juga memungkinkannya melampiaskan ekspresi dan fantasi lewat gambar.
Begitu gigihnya Heru, membuat banyak teman dan dosen jatuh simpati padanya. Di luar kampus pun Heru tetap berprestasi. Antara lain, menjadi juara III Lomba Abang-None Jakarta, khusus penyandang kelainan, di Balai Kota kantor Gubernur DKI Jaya, Desemher 1996. Di samping ditanyai tentang makanan khas Betawi, Yogyakarta, dan Sunda, “Wah, aku juga diminta joget Betawi, Heru senyum dikulum.
Hebatnya, keterbatasan fisik tak membuat Heru berpikir untuk memanjakan tubuhnya. Tahun 1997, ia ikut berlatih di Merpati Putih hingga mencapai tingkat Balik 2. Ia pun ikut aktif dalam pergerakan mahasiswa proreformasi. Dalam Peristiwa Trisakti Mei 1998, ia tampil sebagai relawan pemasok makanan. Untuk menghindari hujan tembakan, ia harus bersembunyi masuk selokan,
Akhirnya, tibalah mahasiswa istimewa ini di penghujung langkah. Gelar Sarjana Teknik ia peroleh pada 1999 dengan skripsi berjudul “Paroki dan Sarana Fisik Penunjangnya di Jakarta”. Sedangkan topiknya “Penerapan Simbolisme Kristiani pada Bangunan Gereja Katolik dan Gedung Paroki”. Skripsi ini mendapat nilai B (memuaskan).
“Mendengar” kebahagiaan
* Sudah mencapai” titik” puncakkah perjalanan Heru?
Ternyata belum sama sekali. Lulus kuliah, ia bekerja di SLB Santa Lusia di bagian komputer. Tiga tahun kemudian, ia pindah ke PT Mitra Muda. Walau pemiliknya kakak sendiri, Heru tetap bekerja keras, tak jarang harus lembur sampai malam. Ia bertugas menggambar desain rumah, ruko, dan sebagainya.
Heru merasa lingkungan selalu bersikap terbuka, memberinya kesempatan untuk mencapai apa yang juga bisa dicapai orang normal. Dulu, ia ingin sekali mengecap pendidikan tinggi. Lalu lingkungan membantunya hingga ia menjadi sarjana. Jika ia menyapa hangat, orang lain membalasnya dan mengajak mengobrol, walau sering salah tafsir, "Pengaruhnya jauhhh dan daleemmm banget,” akunya penuh perasaan.
Perasaannya memang halus. “Jika saya nasihati dengan kata-kata keras, ia langsung bersedih. Ketika Bapak meninggal dunia, ia juga sangat terpukul, kehilangan figur idealnya,” tutur Soelarmi.
Pernah, ketika ingin berlibur ke rumah kakaknya di Denpasar, ia ingin naik pesawat. lbunya melarang, karena baru ada pesawat jauh dan meminta banyak korban. “Tapi hidup mati ‘kan di tangan Yang Kuasa,” Heru bersikeras, Namun Soelarmi khawatir, jika dalam keadaan darurat Heru tak bisa mendengar instruksi kru pesawat. Karena kesal, ia bicara sambil membentak. Kelihatan ia sedih sekali. Akhirnya, ia pergi juga menggunakan jasa biro travel, dan saya bisa menitip pesan khusus ke sopirnya.”
Ada hal yang membuat pengagum tokoh komik Tintin ini merasa lengkap. Pada 2 Oktober 2002, ia menikahi Violina Oktarini Gunawan, penyandang tunarungu yang enam tahun lebih muda darinya. Vio, gadis cantik itu, menyempurnakan kebahagiaan Heru dengan memberinya seorang putra, Benedict Putra Yuwono, pada 4 Agustus 2003. Rumah mereka di Bekasi kini terasa riang oleh celoteh si mungil yang terlahir normal.
“Jika sudah punya modal dan kesempatan, aku ingin buka usaha sendiri dan membangun rumah dekat ibu, agar kami sekeluarga bisa berkumpul,” tulis Heru.
Soelarmi memang menjadi wanita yang sangat berarti buat Heru. Ditambah kehadiran anak dan istri, seolah tak pernah ada kebekuan dalam hidupnya. Di tengah kebisuan, ia seperti "mendengar"kebahagiaan memenuhi tiap ruang di rumahnya.
sumber:
(Kompas.com)Rabu, 02 Maret 2005, 10:04 WIB
http://santirama.sch.id/index.php?option=com_content&task=view&id=43&Itemid=79
Langganan:
Postingan (Atom)