Rabu, 19 Mei 2010

Tiada yang tak mungkin

“Mana mungkin anakku bisa mengi-kuti Pesantren Ramadhan seperti itu” gumam salah seorang ayah siswa Santi Rama, pada waktu menyaksikan tayangan televisi mengenai kegiatan Pesantren Ramadhan untuk anak-anak yang mendengar. Begitulah ungkapan tulus yang meluncur dari lubuk hati yang paling dalam seorang ayah yang diwarnai rasa iri.

Orangtua manakah yang tidak senang jika putranya bisa mengikuti kegiatan yang biasa dilakukan oleh anak pada umumnya. Kerinduan dan rasa iri hati untuk memandikan putranya dalam kegiatan keagamaan sedini mungkin selayaknya anak pada umumnya terobati sewaktu Santi Rama mengadakan Pesantren Ramadhan. Kesejukan hati terpancar di raut wajahnya yang berseri-seri, setelah mengikut-sertakan putranya dalam kegiatan Pesantren Ramadhan. Apalagi setelah menyaksikan para santri Santi Rama mengenakan baju muslim. Di dalam hatinya ia bersukur:

“Terima kasih ya Allah, Engkau telah membuka jalan untuk anak-anak tunarungu mengenalMu sejak dini. Yang semula masih menjadi tanda tanya, sekarang terjawab sudah. Ternyata dulu saya katakan tidak mungkin sekarang menjadi serba mungkin”.



Demikianlah ungkapan rasa syukur seorang ayah, yang disampaikan dalam sambutan membuka kegiatan Pesantren Ramadhan tahun 2003 ini. Tentu saja disertai dengan harapan agar putra-putrinya akan menjadi lebih baik dalam beribadah dan bersikap sehari-hari. Sebagi contoh bagi anak yang sulit bangun untuk sahur menjadi mudah bangun, bagi anak yang belum biasa shalat berjamaah, menjadi terbiasa, bagi anak yang belum biasa berdo’a sebelum/sesudah makan, dan sebelum/setelah bangun tidur, jadi tahu cara mengerjakannya, anak yang belum biasa mengerjakan shalat tepat waktu menjadi terbiasa dan seterusnya.

Di samping itu karena anak bermalam di sekolah terpupuk pula sikap kemandirian-nya karena terpisah dari orangtuannya yaitu menjadi mampu mengurus keperluan diri sendiri seperti, mandi, merapikan tempat tidur dan sebagainya. Harapanya adalah agar apabila anak kembali ke rumah masing-masing mereka akan terus mene-rapkannya dalam kehidupan sehari-hari.


Gayung ber-sambut, harapan orangtua tersebut dapat tertampung dalam program kegiatan Pesantren Ramadhan. Kegia-tan ini bertujuan agar semua pe-serta mengerti mengenai apa saja yang semestinya dikerjakan seseorang yang sedang melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Pesantren ini dirancang dengan berbagai kegiatan yang menarik dan efektif bagi anak tunarungu. Semua pelajaran selalu diawali dengan suatu pengalaman bersama, di mana anak dapat merasakan, melihat dan mela-kukan/menjalani segala sesua-tunya bersama. Kemudian hal yang menjadi pengalaman bersama itu dipercakapkan sehingga mening-galkan kesan yang lebih mendalam dan tidak akan cepat dilupakan oleh anak. Hal itu sejalan dengan prinsip-prinsip pengajaran bahasa bagi anak tunarungu. Dengan demikian diharapkan bahwa hasilnya bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Kegiatan Pesantren Rama-dhan tahun ini dikemas sedikit berbeda dengan kegiatan tahun sebelumnya. Kegiatannya hadir cantik, karena materinya tidak hanya materi keagamaan saja, tetapi ditambah dengan

Bimbingan Pribadi Siswa, yaitu berupa Bimbingan Keluarga untuk siswa kelas I - IV, Bimbingan Bagi Remaja dan Pencegahan Bahaya Narkoba untuk kelas V - VIII. Kegiatan Bimbingan Pribadi ini diikuti oleh semua siswa Santi Rama (muslim dan non muslim), serta melibatkan semua guru. Hal ini dilakukan agar dalam waktu yang disediakan pada bulan Ramadhan ini, semua siswa dapat dibina agar memiliki sifat-sifat yang baik sehingga berbudi pekerti yang luhur. Dalam kegiatan Bimbingan Keluarga anak dibina agar santun dalam bergaul di keluarganya masing-masing yaitu santun dalam memperlakukan kedua orangtuanya dan saudara-nya. Dalam Bimbingan Remaja anak dibina guna mengenal perkembangan dirinya sendiri sebagai remaja, cara merawat dirinya, sopan santun dalam pergaulan dengan sesama dan sebagainya.

Dalam Bimbingan Bahaya Narkoba anak dibina agar bisa mengatakan “tidak” terhadap narkoba yaitu tidak mau mencobanya bila diberi, tidak mau membelinya, tidak mau mema-kainya karena tahu akan akibatnya yang berbahaya.

Dalam kegiatan pesantren anak-anak merasa senang karena sepanjang hari bisa bersama-sama dengan teman sesama tunarungu. Sebelum berbuka ada kultum yang berisi nasehat bagaimana cara berbuka yang sebenarnya, berdo’a bersama sebelum berbuka, cara makan yang sopan, selesai makan harus bagaimana, semua itu disampaikan lewat percakapan. Bila ada anak yang belum benar melakukan ibadah (berwudhu), langsung diberi contoh yang seharusnya. Mereka senang bisa shalat wardhu dan tarawih bersama-sama. Juga bisa mengaji di bawah bimbingan bapak dan ibu guru. Pada waktu makan sahur dibangunkan bersama-sama, diantar ke ruang makan bersama-sama, dan sesudah makan sahur diajak shalat Subuh berjamaah. Kalau mengantuk sesudah Subuh boleh tidur lagi. Anak laki-laki yang tidak ngantuk boleh main bola. Dengan jadwal yang ketat, secara tidak langsung displin anak dilatih juga.

Kegiatan Pesantren Rama-dhan diakhiri dengan Kegiatan Bhakti Sosial. Telah dipercakapkan di kelas-kelas beberapa waktu sebelumnya agar anak-anak mengumpulkan mie instan dan alat tulis, untuk disumbangkan kepada saudara-saudaranya yang kurang beruntung karena tekena gusur. Beberapa anak sebagai perwakilan dari kelas diajak langsung ke lokasi guna menyumbangkan barang-barang tersebut. Kegiatan ini diadakan guna memupuk empati yaitu, menumbuh suburkan sikap ingin berbagi rasa dengan orang lain yang kurang beruntung dan memupuk jiwa sosial antar sesama.

Siapa yang mengurusi konsumsi untuk kegiatan ini? Ada sekelompok ibu-ibu siswa-siswi kami yang selalu peduli dan setia serta bersedia untuk dengan ikhlas menyiapkan segala kebutuhan makan dan minum selama berlangsungnya kegiatan Pesan-tren Ramadhan, termasuk juga memikirkan uang lelah bagi para pembimbingnya.

Terima kasih semuanya semoga kebaikan mereka dibalas oleh Yang Maha Kuasa. Amiin!

sumber: http://santirama.sch.id/index.php?option=com_content&task=view&id=59&Itemid=79

Sentuhan Ibu

Sumber : Intisari (2006-02-17)

Jakarta, Rabu

Di balik kekurangan, terselip kelebihan. Di balik kesulitan, terbuka peluang.

Heru Bodro Yuwono, yang sejak lahir menderita cacat fisik, percaya betul bahwa derita tunarungu bawaannya bukan akhir hidupnya. Tak hanya hidup normal, Ia bahkan mampu meraih mimpi masa kecilnya, menjadi arsitek.

Sri Soelarmi membuka kamar anak bungsunya. Bocah berusia sembilan bulan kelahiran 3 September 1971 itu tampak asyik bermain di tempat tidur. “Mas Heru!” panggilnya. Namun, si bungsu seolah tak peduli. Ia tetap asyik dengan mainannya. Seringnya kejadian seperti itu membuat Soelarmi was-was. “Jangan-jangan airmatanya langsung menetes.

Dua dari tujuh anaknya menderita tunarungu. Apakah Heru juga bernasib sama?

Padahal, ketika lahir ia menangis keras. Lucu sekali melihat wajahnya yang bulat mengucapkan kata “mam” saat ingin makan, atau “mama” ketika memanggil ibunya. Bahkan, bila setiap pagi melepas ayahnya, Soenoe Hidigdo (almarhum) yang berdinas di Departemen Pendidikan & Kebudayaan, berangkat kerja, Heru mungil menggoyang tangan sambil berkata, “Dah!.

Kebahagiaan itu berakhir sewaktu dokter THT memvonis, Heru menderita tunarungu. Walau hatinya terguncang, Soelarmi sudah lebih siap, mengingat kedua anaknya terdahulu, Agus dan Nur, juga bernasib sama.

Bangun Percaya Diri

* “Saya sendiri tak tega mengatakan dirinya tunarungu,” sendu suara Soelarmi.

Namun semasa kecil, Heru sudah merasa dirinya amat berbeda dengan teman-teman sepermainannya. Agak sulit ia memahami perkataan teman-temannya sehingga, “Kami akhirnya sering menggunakan bahasa tubuh.”

Meski tiga anaknya menderita tunarungu, Soelarmi tak patah Semangat. Pasalnya, ia merasa anak-anaknya memiliki kecerdasan yang memadai. Ia bertekad memperjuangkan persamaan hak mereka dengan anak normal dalam bidang pendidikan.

“Saya akan arahkan mereka, agar kelak dapat mengandalkan kemampuan diri sendiri.”

Karenanya, Heru dan kedua kakaknya sejak dini dimasukkan ke TLO (Taman Latihan Observasi) Santi Rama di Cilandak, Jakarta, lalu meningkat ke SLB (Sekolah Luar Biasa) Santi Rama. Heru anak yang ramah, temannya banyak. Meski pendiam, ia bukan anak pemalu. Ia punya sejumlah teman dekat, yang sering diajaknya menginap di rumah bila libur.

Kebetulan, menurut Soelarmi, Heru bukan termasuk anak sulit. Selain tidak nakal, ia tergolong patuh dan disiplin. “Kalau ada keinginan yang tak dikabulkan, ia tak pernah ngambek atau marah-marah. Paling menangis, tapi tak ditunjukkannya,” kisah ibu yang menjual tanah keluarga di Tulungagung, kemudian pindah ke Balekambang, Condet, Jakarta Timur, itu. Bersama suami, ia ikut mendirikan SLB Frobel Montessori tahun 1982.

Di rumah, ibu lulusan SKP (Sekolah Kepandaian Putri) ini mendorong Heru agar selain menggunakan bahasa isyarat, juga belajar berbicara seperti orang biasa, “Supaya ia juga bisa berkomunikasi dengan orang normal.”

Sikap orangtua yang tak merasa malu memiliki anak tunarungu ikut membangun rasa percaya dirt Heru. Apalagi, “Setiap aku naik kelas, sama seperti anak-anak lainnya, Bapak dan Ibu selalu memberiku hadiah,” kenang Heru.

Berbeda dengan teori, bahwa fantasi anak tunarungu terbatas, pada Heru hal itu ternyata tidak berlaku. Imajinasinya kuat. Ia ekspresikan dalam hasil gambar yang cukup kuat. Oleh sebab itu, seraya mempertebal rasa percaya diri serta mengikis rasa ragu-ragu dan khawatir, Soelarmi mendorong Heru ikut lomba menggambar. Hasilnya sungguh manis. Di TLO Santi Rama, Heru menjadi juara I. Sedangkan di SLB Santi Rama, ia berhasil meraih posisi juara III.

Menggapai Cita-cita

* Usai Heru menyelesaikan pendidikan dasar di SLB Santi Rama, Soelarmi berkeras agar Heru melanjutkan pendidikan ke sekolah umum.

Kehendak ini agak berbeda dari suaminya yang menganggap anaknya cukup mengikuti les saja. Ia yakin, Heru tak sulit bersosialisasi laiknya anak normal. Heru sendiri menyambut baik keinginan ibunya.

Sri Soelarmi sendiri selalu mendampingi ketika si bungsu harus ikut tes masuk. Heru akhirnya diterima di SMP Santo Markus, Cililitan. Sehari-hari, ia tak merasa minder bergaul dengan teman-teman sebaya yang normal. Bahkan, karena impulsnya berkembang wajar seperti anak remaja lainnya, ia pun merasa tertarik pada lawan jenis. Tapi, sang ibu mengingatkan,
“Boleh pacaran kalau sudah selesai kuliah, dan boleh menikah sesudah bekerja. Jangan sampai cita-cita menjadi insinyur kandas di tengah jalan.”

Ketika melanjutkan sekolah menengah ke SMA Vianney Kebon Jeruk, Jakarta Barat, kegiatan sehari-hari Heni bukan hanya bersekolah. Soelarmi memacu Heru ikut les bahasa dan mata pelajaran di Santa Lusia, Cililitan. Selain itu, sejak SD ia aktif di Gerakan Pramuka, organisasi khusus penyandang tunarungu, serta di Mudika (Muda-mudi Katolik).

Langkah Heru untuk mencapai cita-cita makin menggelora. Ia tak terlalu sulit mencerna seluruh pelajaran di kelas. Bahkan sejak SMP ia sudah sangat menyukai pelajaran matematika. Tak heran nilai matematika di rapornya selalu tercetak angka 8. Kendala hanya terjadi ketika dia harus berkomunikasi dengan guru atau teman.

Terutama dalam pelajaran Bahasa Indonesia, “Aku sering salah tafsir dan salah jawab, karena aku kurang mengerti tata bahasa orang normal. Sejumlah kata bahkan terasa rumit sekali untuk dimengerti," aku Heru.

Untunglah, teman-temannya begitu terkesan akan sikapnya yang tak mudah patah semangat dan gemar membaca. Dengan senang hati, mereka mengajari remaja yang tim tarik tambangnya sejak SMP selalu meraih gelar juara I itu. Kalaupun komunikasi mentok, “Terpaksa kami menggunakan kertas, Komunikasi lewat tulisan itu kadang justru lebih efektif.”

Selepas SMA, pemuda yang selalu naik kendaraan umum ini sudah betul-betul mantap pada cita-citanya menjadi insinyur! Target itu seolah sudah menjadi harga mati yang tak bisa ditawar lagi. Ia kemudian mendaftarkan diri di Fakultas Teknik Universitas Trisakti jurusan Arsitektur. “Aku lulus tes masuk karena bisa menggambar botol Coca Cola seperti aslinya,” kenang Heru.

Bakat menggambarnya memang cukup menonjol. Itu sebabnya, dalam tugas kelompok, Heru biasanya kebagian tugas menggambar, sementara teman-temannya yang lain menjawab pertanyaan. Bisa dibayangkan betapa pentingnya peran kertas buat Heru. Selain bermanfaat untuk memecahkan kesenjangan dalam berkomunikasi, kertas juga memungkinkannya melampiaskan ekspresi dan fantasi lewat gambar.

Begitu gigihnya Heru, membuat banyak teman dan dosen jatuh simpati padanya. Di luar kampus pun Heru tetap berprestasi. Antara lain, menjadi juara III Lomba Abang-None Jakarta, khusus penyandang kelainan, di Balai Kota kantor Gubernur DKI Jaya, Desemher 1996. Di samping ditanyai tentang makanan khas Betawi, Yogyakarta, dan Sunda, “Wah, aku juga diminta joget Betawi, Heru senyum dikulum.

Hebatnya, keterbatasan fisik tak membuat Heru berpikir untuk memanjakan tubuhnya. Tahun 1997, ia ikut berlatih di Merpati Putih hingga mencapai tingkat Balik 2. Ia pun ikut aktif dalam pergerakan mahasiswa proreformasi. Dalam Peristiwa Trisakti Mei 1998, ia tampil sebagai relawan pemasok makanan. Untuk menghindari hujan tembakan, ia harus bersembunyi masuk selokan,

Akhirnya, tibalah mahasiswa istimewa ini di penghujung langkah. Gelar Sarjana Teknik ia peroleh pada 1999 dengan skripsi berjudul “Paroki dan Sarana Fisik Penunjangnya di Jakarta”. Sedangkan topiknya “Penerapan Simbolisme Kristiani pada Bangunan Gereja Katolik dan Gedung Paroki”. Skripsi ini mendapat nilai B (memuaskan).

“Mendengar” kebahagiaan

* Sudah mencapai” titik” puncakkah perjalanan Heru?

Ternyata belum sama sekali. Lulus kuliah, ia bekerja di SLB Santa Lusia di bagian komputer. Tiga tahun kemudian, ia pindah ke PT Mitra Muda. Walau pemiliknya kakak sendiri, Heru tetap bekerja keras, tak jarang harus lembur sampai malam. Ia bertugas menggambar desain rumah, ruko, dan sebagainya.

Heru merasa lingkungan selalu bersikap terbuka, memberinya kesempatan untuk mencapai apa yang juga bisa dicapai orang normal. Dulu, ia ingin sekali mengecap pendidikan tinggi. Lalu lingkungan membantunya hingga ia menjadi sarjana. Jika ia menyapa hangat, orang lain membalasnya dan mengajak mengobrol, walau sering salah tafsir, "Pengaruhnya jauhhh dan daleemmm banget,” akunya penuh perasaan.

Perasaannya memang halus. “Jika saya nasihati dengan kata-kata keras, ia langsung bersedih. Ketika Bapak meninggal dunia, ia juga sangat terpukul, kehilangan figur idealnya,” tutur Soelarmi.

Pernah, ketika ingin berlibur ke rumah kakaknya di Denpasar, ia ingin naik pesawat. lbunya melarang, karena baru ada pesawat jauh dan meminta banyak korban. “Tapi hidup mati ‘kan di tangan Yang Kuasa,” Heru bersikeras, Namun Soelarmi khawatir, jika dalam keadaan darurat Heru tak bisa mendengar instruksi kru pesawat. Karena kesal, ia bicara sambil membentak. Kelihatan ia sedih sekali. Akhirnya, ia pergi juga menggunakan jasa biro travel, dan saya bisa menitip pesan khusus ke sopirnya.”

Ada hal yang membuat pengagum tokoh komik Tintin ini merasa lengkap. Pada 2 Oktober 2002, ia menikahi Violina Oktarini Gunawan, penyandang tunarungu yang enam tahun lebih muda darinya. Vio, gadis cantik itu, menyempurnakan kebahagiaan Heru dengan memberinya seorang putra, Benedict Putra Yuwono, pada 4 Agustus 2003. Rumah mereka di Bekasi kini terasa riang oleh celoteh si mungil yang terlahir normal.

“Jika sudah punya modal dan kesempatan, aku ingin buka usaha sendiri dan membangun rumah dekat ibu, agar kami sekeluarga bisa berkumpul,” tulis Heru.

Soelarmi memang menjadi wanita yang sangat berarti buat Heru. Ditambah kehadiran anak dan istri, seolah tak pernah ada kebekuan dalam hidupnya. Di tengah kebisuan, ia seperti "mendengar"kebahagiaan memenuhi tiap ruang di rumahnya.

sumber:
(Kompas.com)Rabu, 02 Maret 2005, 10:04 WIB

http://santirama.sch.id/index.php?option=com_content&task=view&id=43&Itemid=79

Selasa, 27 April 2010

Ortu Siswa Tunanetra Minta Keringanan Seleksi Masuk SMA

Jakarta - 4 Orangtua siswa-siswi tunanetra mendaftarkan putra-putri mereka ke SMA 66 di Jalan Bangau, Cilandak, Jakarta Selatan. Selain mendaftar, mereka juga meminta anak-anaknya mendapat keringanan dalam mengikuti seleksi masuk. "Anak kami berempat ikut program inklusi tahun 2006 Dulunya anak kami sekolah di TK, SD, SMP di SLB Lebak Bulus tingkat nasional," ungkap Suparwi, orangtua salah satu siswa saat ditemui di SMA tersebut, Jumat (6/7/2007). Namun saat kelas tiga SMP, karena dinilai berprestasi, keempat siswa itu dipindahkan ke SMPN 226 Pondok Labu. "Jadi tentunya (perlakuan) antara tunanetra dan normal beda, apalagi anak kami baru 1 tahun mengikuti program inklusi di sekolah reguler. Yang normal saja kesulitan saat UN apalagi yang tunanetra," jelas Suparwi Suparwi mengaku sudah mendaftar ke SMA 54 Jatinegara, dan SMA 62 Kramatjati, Jakarta Timur. Namun di dua sekolah itu tidak ada tempat untuk anak tunanetra, sehingga satu-satunya harapan hanya di SMA 66 yang menyediakan program inklusi tunanetra dan tunarungu. Namun upaya keempat orangtua itu tampaknya sulit terwujud. Kepala Sekolah SMA 66 Maman Sumarwan mengatakan, pihaknya tidak memberikan pengecualian untuk anak tunanetra. "Kami membuka pintu selebar-lebarnya bagi siapa pun yang ingin mendaftar ke SMA 66, hanya tes masuknya harus sesuai aturan yang berlaku," tegas Maman. Maman menambahkan, selama 6 tahun sudah ada 36 siswa-siswi tunanetra dan tunarungu yang menuntut ilmu di sekolah tersebut. "Semuanya berprestasi baik. Untuk tahun ini saja ada satu lulusan, Dimas Prasetyo, yang mendapat peringkat kedua nilai NEM tertinggi. Dan satu siswa tunarungu dapat PMDK di ITB," beber dia. Diakui Maman, anak-anak tunanetra dan tunarungu ini memang istimewa. Namun sekolah tidak pernah memberikan pengecualian, termasuk bagi siswa yang sudah masuk ke sekolah tersebut di tahun sebelumnya. "Jadi baru tahun ini saja ada yang protes," katanya. Tahun 2006 lalu, patokan NEM tertinggi untuk siswa yang akan masuk ke SMA 66 ditetapkan 24,63. Sementara Kiagus Achmad dari LBH Jakarta yang mendampingi keempat orangtua murid itu mengaku pihaknya masih akan menunggu hingga 10 Juli, saat pengumuman daftar nilai terendah. "Kita tunggu, apakah mereka bisa masuk atau tidak," katanya.

sumber: http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/07/tgl/06/time/134634/idnews/801972/idkanal/10

Minggu, 25 April 2010

Lukman: Sebuah Potret dalam Paradigma Pertumbuhan

(Tulisan ini dibuat untuk anak-anak istimewa di Tetum yang punya cara belajar berbeda, teman-teman sekelas yang mau menerima mereka, dan orang tua yang dapat menjawab dengan bijak tentang kehadiran anak-anak itu)

Lukman memandang kura-kura di air mancur, sementara teman-temannya sedang mendengar Kak Ria mendongeng di teras kelas. Ketika Kak Aas memegang lengan Lukman dan mengajaknya bergabung dengan Kak Ria, Lukman berteriak,“Nggak!” Kak Aas terkejut. Hari itu, tanggal 23 Maret 2009, untuk pertama kalinya di sekolah Lukman mengeluarkan kata bantahan, “Nggak.” Di rumah dia sudah mengucapkan “Nggak” untuk pertama kalinya beberapa hari sebelumnya, yang membuat mamanya terkejut dan gembira.

Anak Indonesia pada umumnya dapat mengucapkan bentuk negatif (bukan-belum-jangan-nggak/ndak) pada usia dua tahun. Lukman untuk pertama kalinya memproduksi bentuk negatif beberapa hari setelah ulang tahunnya yang ke-4.

Lukman mengalami perkembangan pemerolehan bahasa yang lebih lambat daripada anak lain. Dia mengalami kesulitan untuk memberikan respon dan menerima makna yang diberikan oleh sekelilingnya. Lukman tidak mengalami kelainan organik. Struktur organ wicara dan pendengarannya baik (hanya saja dia cenderung hipersensitif terhadap suara – terkadang Lukman menutup telinga pada saat kegiatan menonton film). Lukman juga mempunyai kemampuan kognitif yang baik. Misalnya, ketika mamanya mengajarinya mengenali globe dengan mengatakan, “Lukman disini ni, di In Do Ne Sia,” Lukman meniru, “Indonesia.” Lalu ibunya menjelaskan di mana penguin, gajah, beruang kutub, dan dinosaurus. Ketika globe diputar lagi, Lukman dapat menyebutkan dengan tepat di mana letak hewan-hewan itu dan dirinya.

Meski memiliki kemampuan kognitif yang baik, karena masalah-masalah yang dimiliki Lukman, dia cenderung memperlihatkan perilaku yang tidak sesuai norma umum. Bila diajak dalam kegiatan kelompok, tak jarang dia menendang, mencubit dan menggigit Kak Aas atau kak Ria atau melempar setumpukan buku atau balok.

Secara bercanda saya katakan kepada mama Lukman bahwa saya ingin digigit Lukman, yang menandakan dia sudah nyaman mengekspresikan perasaan kepada saya. Memang, pada akhirnya Lukman melayangkan tangan kecilnya ke pipi saya ketika saya mendekatinya karena dia menendang seorang teman yang ingin ikut membaca bukunya. Jumat lalu pun dia beberapa kali mengepalkan tangan dan mendorong lengan saya, ketika saya mengingatkannya agar tidak duduk di ujung dinding perosotan.

Menurut Ibu Alzena Masykouri, psikolog yang memantau perkembangan Lukman, bahwa Lukman menunjukkan perilaku agresif dalam menunjukkan kemarahan, menunjukkan bahwa dia mengalami kemajuan dalam mengenali dan mengekspresikan emosinya. Hanya saja Lukman masih perlu berlatih untuk meregulasi emosinya dan menunjukkan emosi dengan cara yang adaptif.

Tantrum Lukman tak luput dari perhatian teman-temannya. Ibu Vina menulis kepada saya bahwa hampir setiap pulang sekolah Vina bertanya kenapa Lukman selalu marah-marah. Dengan bijak ibu Vina menjelaskan bahwa Lukman tidak sama dengan Vina dan teman-teman lain, jadi Vina harus memahami.
Tentu jawaban itu tidak memuaskan Vina. Dia pun bertanya lagi, “Lukman sakit apa?”

Ya, akan mudah menjelaskan kepada anak, bahkan kepada orang dewasa sekalipun, mengenai perbedaan yang nyata secara fisik. Kami pernah mengadakan sesi “Sehari Bersama Hegar” untuk menjelaskan kondisi Hegar yang perlu memakai alat bantu dengar. Bunda Hegar menjelaskan kepada anak-anak tentang riwayat Hegar sejak di kandungan dan mengapa Hegar sampai memakai alat yang ditanamkan di kepalanya. Acara itu berakhir dengan permainan tikus kucing yang digemari anak-anak Tetum, dengan Hegar sebagai tikus dikejar oleh Rayi sebagai kucing.

Acara itu sebetulnya merupakan “pengesahan MoU” antara kami, orang dewasa –sekolah dan orang tua Hegar—mengenai apa yang akan kami lakukan terhadap Hegar. Bagi teman sekelasnya, acara itu merupakan pengenalan terhadap alat bantu dengar Hegar, kebutuhan Hegar akan alat itu dan bahwa mereka harus ikut menjaganya. Secara sosial, tanpa acara itu mereka sudah menerima Hegar, dan Hegar pun menjadi bagian dari mereka. Tanpa bahasa verbal, mereka melakukan komunikasi dan menjalani kegembiraan tanpa hambatan. Hegar adalah anak yang penuh percaya diri dan memiliki kemampuan kognitif dan sosial yang baik.

Berbeda dengan anak-anak yang tidak secara nyata memiliki perbedaan, apalagi yang memiliki hambatan melakukan interaksi sosial. Yang tampak di mata anak-anak dan orang tua –ketika menjadi visiting parents atau menjemput—adalah adanya seorang anak senang berjalan-jalan di halaman, tidak mau masuk kelas, dan kerap agresif.

Kami tahu ada tanya dalam pandangan orang tua ketika melihat Lukman, namun secara etika kami tidak bisa menjelaskan kondisi seorang anak kepada orang tua lain. Kami hanya dapat meyakinkan –secara tak langsung—bahwa kehadiran seorang anak berkebutuhan khusus tidak membuat putra-putri mereka menjadi terabaikan.

Karena surat ibu Vina, saya pun mengajak mama Lukman untuk membuka diri dengan kehadiran anak-anak berkebutuhan khusus di Tetum, dimulai dari Lukman. Sebuah keterbukaan dapat mengajak orang tua untuk mempersepsi anak berkebutuhan khusus dalam paradigma pertumbuhan (growth paradigm), bukan paradigma defisit/kekurangan (deficit paradigm). Dalam paradigma pertumbuhan itu kita mempersepsi bahwa seorang anak berkebutuhan khusus adalah individu dengan cara belajar berbeda, bukan seseorang yang memiliki defisit kemampuan sehingga dia menjadi tidak bisa melakukan hal yang dilakukan mainstream. Orang di sekelilingnya –terutama orang tua dan guru– perlu membantunya agar dia dapat mengembangkan potensinya.

Cobalah kita telaah ketika Lukman berkeliling-keliling di halaman dan membuang muka dan menendang sewaktu diajak Kak Aas ke kelas. Dari segi pemahaman bahasa, tampaknya Lukman sudah memahami ajakan, “Ayo, Lukman ke kelas.” Ini terlihat dari reaksinya dengan membuang dan menendang. Apakah sungguh Lukman paham? Ya, bila dilihat dari kebiasaannya meninggalkan crowd (kelompok teman-temannya) dan keengganannya berada di kelas kecuali bila di kelas ada benda yang jadi fokus perhatiannya, misalnya, buku. Jadi, ketika berada di dalam kelas, Lukman tidak terlibat dalam kegiatan kelas. Bila ditegur, dia akan bereaksi keras. Reaksi keras itu menunjukkan bahwa Lukman masih perlu belajar dalam berekspresi. Masalahnya tak hanya terkait dengan produksi bahasa (dapat menyampaikan penolakan dengan manis), tapi juga masalah yang terkait dengan gangguan komunikasi, yaitu resistensi terhadap perubahan dan kecenderungannya pada kerutinan, interaksi sosial, pengaturan (organizing) dan keteralihan.

Lukman akan lebih bisa kooperatif bila resistensi terhadap perubahan berkurang. Dia menjadi stres bila keasyikannya saat menekuni suatu hal diputus (sedang mengamati kura-kura-kura, diajak ke kelas). Bila Lukman memiliki kebutuhan untuk interaksi sosial, dia juga akan kooperatif melakukan kegiatan bersama teman, baik di dalam maupun di luar kelas. Interaksi sosial ini tidak hanya berada di dalam suatu ruang bersama-sama, tetapi terjadi pertukaran komunikasi verbal maupun nonverbal. Lukman perlu stimuli untuk mengoptimalkan perkembangannya dengan terapi sensori integrasi di suatu klinik, di rumah dan di sekolah.

Menyekolahkan Lukman di sekolah umum merupakan bagian dari paradigma pertumbuhan: mempersepsi dia bahwa dia memiliki cara belajar berbeda dan berpotensi untuk berkembang. Persepsi ini harus dimiliki oleh orang-orang di sekelilingnya, sebagai wujud pengabdian kita terhadap Tuhan yang telah menciptakan manusia secara berbeda-beda. Bukan keinginan Lukman untuk menjadi seperti itu, bukan pula pilihan orang tuanya untuk memiliki anak yang pada awalnya seolah tak membutuhkan orang-orang di sekelilingnya.

Dari kasus Lukman kita malah jadi belajar menghargai anugrah Tuhan yang begitu berharga: kemampuan mengekspresikan diri. Mama Lukman dengan rajin mencatat perkembangan Lukman dari satu langkah ke langkah lain. Misalnya, ketika Lukman berebut Mama dengan Reza kakaknya; ketika mengamati bahwa spanduk Tetum yang dipasang di jalanan depan rumahnya tidak ada (“Ya, Tetum hilang”); ketika Lukman berpapasan dengan Sari, teman sekelasnya, dan mengatakan, “Hai tunggu”; atau ketika pertama kali minta tolong (“Mama tolong pasang Tupi ya Ping-Ping”). Saya pun jadi GR ketika kemarin bersalaman dengan Lukman, dan dia berpikir sejenak sebelum akhirnya mengucapkan, “Kak Endah.” Itu adalah pertama kali Lukman menyebut nama saya, berkat stimulasi yang diberikan ibunya.

Membesarkan Lukman menjadi hari-hari yang penuh tantangan bagi orang tua Lukman. Mereka dengan jujur mengakui tidak mudah. Memahami masalah Lukman adalah sebuah PR besar, dan mengatasi pergulatan diri adalah proses belajar yang lain. Ini komentar Mama Lukman tentang ajakan saya untuk membuka diri kepada orang tua teman-teman anaknya: Monggo kak Endah, silakan ditulis. Saya pun ingin tahu bagaimana reaksi orang tua yang lain. Ini adalah suatu tahapan yang harus kami lalui di mana pun Lukman bersosialisai. Mungkin ada yang mendukung, mungkin ada yang tidak memahami dan memandang perbedaan tersebut seharusnya tidak perlu. Bukan sekali dua kali orang tua di milis anak berkebutuhan khusus yang saya ikuti mengeluh dan menangis karena masalah ini. Jadi kami pribadi sudah cukup tahu, dan mudah-mudahan cukup siap dengan reaksi para orang tua lain…

(Ditulis di Notes FB Sekolah Tetum, 18 Mei, 2009)


sumber: http://endah.sekolahtetum.org/?p=11

Belajar Dari Si Kecil Yang Autis

Belum lama ini, saya membongkar file-file yang ada di MP4 yang selama ini saya gunakan. Sudah cukup banyak file rekaman suara yang saya simpan di sini.

ukan rekaman suara saya saat bernyanyi tapi suara rekaman wawancara saya dengan beberapa narasumber terkait klien yang sedang ditangani. Sebagian besar saya putar ulang tapi tidak sampai selesai. Beberapa rekaman yang sudah tidak diperlukan lagi segera saya delete agar tidak menambah penuh kapasitas.

Saya terdiam lama ketika mendengarkan sebuah rekaman hasil wawancara saya dengan seorang guru SD di sekolah inklusif sekitar awal tahun 2009. Seorang perempuan paruh baya yang menangani murid kelas satu sebanyak 42 orang dengan tiga orang anak autis di dalamnya. Tanpa guru pendamping atau guru berkebutuhan khusus yang bisa hadir setiap harinya. Kesan saya untuknya: ia begitu menikmati pekerjaannya sebagai pendidik.

Sebelumnya, saya menghampiri Erzam, anak laki-laki berkebutuhan khusus yang didiagnosa autis. Usianya sudah 8 tahun, tapi masih duduk di kelas 1. Tubuhnya kecil, bola matanya selalu bergerak dan tidak fokus, rambutnya tegak lurus, dan kulitnya kering.

Saya mencoba menarik perhatiannya, tapi tentu bukan hal yang mudah untuk menghadapi anak autis, terutama saya yang memang jarang berhadapan dengan kasus autis. Erzam sibuk mengusap-ngusap hidungnya, bertepuk tangan, dan tak menghiraukan teman-teman di sekelilingnya. Saya menyapanya, tapi lagi-lagi saya dicuekin.

Pelan, saya memegang tangannya, tapi masih tetap belum ada respon. Seorang teman kelas Erzam menyodorkan buku dan pensil kepunyaan Erzam pada saya. “Ini, Bu, punyanya Ejam,”, begitu ucap si anak. Saya mengambil pensil dan mencoba menggenggamkannya di tangan Erzam.

Ia mengambil pensil itu lalu memutar-mutar pensil itu di ujung tangannya. Saya menuntun tangannya untuk menuliskan sesuatu sambil bergumam, “Ayo, coba kita nulis nama Erzam yuk..” Tapi hanya beberapa saat, Erzam kembali tidak fokus dan berulang-ulang mengusap hidungnya. Kemudian ia bergumam sendiri, lalu bertepuk tangan.

Tanpa saya sadari, ada butiran hangat menyergap bola mata saya. Tak kuasa saya membayangkan perasaan orang tua yang memiliki anak dengan diagnosa autis, betapa mereka melakukan banyak perjuangan untuk dapat membesarkan dan merawat anaknya.

Haru saya kembali bertumpuk saat berbincang dengan guru kelas Erzam. Betapa seorang anak yang disebut autis menjadi sosok yang menyenangkan bagi guru dan teman-temannya.

“kalau kita bernyanyi di kelas, saya selalu panggil nama Erzam dan minta teman-temannya bertepuk tangan untuknya. Erzam kelihatan senang sekali dan langsung maju ke depan kelas. Anaknya baik, tidak suka mengganggu temannya, tapi saya yang tidak punya waktu untuk memberikan perhatian khusus padanya dari sekian murid saya di kelas ini. ingin sekali saya memberikan perhatian lebih.”

“Apakah teman-teman senang dan bisa menerima kehadiran Erzam, bu?” Tanya itu saya sampaikan mengingat erzam adalah anak berkebutuhan khusus dan belum tentu dapat berkomunikasi dengan baik kepada teman-temannya.

“Oh, teman-temannya senang dengan Erzam, karena dia baik. Walaupun duduk di belakang, tapi tidak ada teman yang menjauhinya. Meskipun memang tidak bisa bermain bersama, tapi anak-anak bisa menerima Erzam.” Saya mengakui hal itu sejak saya lihat beberapa teman Erzam sibuk mencarikan buku dan pensil di dalam tas Erzam saat saya mencarinya. Saya mempercayainya ketika beberapa anak laki-laki dengan lembutnya menyapa pundak dan pipi Erzam sambil tersenyum.

Ibu guru itu melanjutkan ceritanya. “Erzam sebenarnya memiliki kemampuan intelegensi yang baik. Ia bisa menghafal sesuatu dengan cepat bahkan lebih baik dibandingkan teman sekelasnya yang masih belum bisa membaca.” Saat istirahat, saya balik menghampiri Erzam yang berkumpul bersama pengasuh dan adiknya di luar kelas.

Adiknya justru sudah duduk di kelas 2 saat ini. beberapa ibu orang tua murid kelas 1 juga sedang berkumpul sambil menyuapkan makanan pada anaknya. Saya pun ikut duduk melantai bersama mereka. Rupanya ibu-ibu itu senang mencandai Erzam. Mereka bertanya tentang hafalan Erzam dalam kosakata bahasa inggris.

“Erzam mah anaknya pintar, cuma susah aja diajak komunikasi. Dia mah bacanya udah lancar, anak saya masih susah bacanya.” Seorang ibu mengagumi Erzam sambil tersenyum. Ibu-ibu lain cuma tersenyum dan menyapa Erzam.

Dalam hati, saya menghargai orang tua yang sudah dapat menerima sistem inklusif di sekolah, dimana anak-anak mereka yang normal memiliki teman sekelas yang berkebutuhan khusus dan mungkin sedikit berbeda dengan mereka. Karena di luar sana, ada banyak orang tua yang enggan jika anaknya digabungkan dengan anak berkebutuhan khusus seperti autis.

Saya sempat menyeletuk pada Rio, adik Erzam yang kini lebih dulu duduk di kelas 2. “Rio sayang ngga sama kak Erzam?”. Rio menggangguk dan berkata “sayang…” sambil sedikit tersenyum dan mengusap kepala kakaknya. Lagi-lagi hati saya bergemuruh mendengar komentar polos itu.


Wah, saya bahkan masih ingat detil kejadian hari itu, dimana saya mendapat banyak pelajaran dari seorang anak kecil yang didiagnosa autis. Anak yang begitu sulit untuk menjalin komunikasi dengan orang lain, dapat menjadi sosok yang menyenangkan bagi gurunya, teman yang diterima bagi sebayanya, dan disayang oleh adiknya. Betapa keterbatasan yang ia miliki tak mengurangi kuantitas bahagia yang dapat ia bagi kepada orang lain.

Semua orang tumbuh dan berkembang dengan cara yang berbeda dan adalah menjadi tidak tepat bagi kita untuk memaksakan orang lain bersikap, berbuat, dan menilai sesuatu seperti apa yang kita lakukan. Layaknya Erzam, mungkin ia tidak dapat mengikuti ritme kehidupan sosial seperti teman sebayanya, tapi ia punya cara sendiri untuk dicintai orang lain dan melengkungkan senyum bagi orang-orang di sekitarnya.

Kita pun berhak punya cara sendiri untuk menjalani hidup ini dan tentunya tidak perlu egois untuk berharap bahwa orang pun akan berbuat sama seperti kita. Ada banyak cara untuk menjadi bahagia, sama seperti halnya ada banyak cara untuk menjadi bermanfaat bagi orang lain.

Saya memutuskan untuk tetap menyimpan rekaman wawancara tentang Erzam di MP4 itu. Suatu hari mungkin saya butuh untuk mendengar ulang rekaman itu lagi, supaya saya tetap bisa ingat bahwa kita harus belajar menerima diri kita dan orang lain apa adanya.

oleh: Hayati Rahmah

sumber: http://www.eramuslim.com/oase-iman/cetak/belajar-dari-si-kecil-yang-autis

PENDIDIKAN UNTUK PENYANDANG AUTISMA

”Ketika saya ingin menyekolahkan Ivan ke sekolah dasar, banyak sekolah yang tidak mau menerima. Bahkan banyak teman Ivan semasa di TK tidak jadi masuk ke sekolah tersebut karena tahu Ivan mendaftar.” Itulah duka Hety Kamiyati Purwaasih (36), ibu dari Moch Lutfansyah Naurambia (7), peyandang autisma.

Pertanyaan ke mana penyandang autisma harus bersekolah---di sekolah umum atau sekolah khusus---sungguh amat menarik karena hingga kini masih membingungkan. Pemerintah memang menetapkan bahwa semua sekolah umum sebaiknya memberikan kesempatan kepada anak-anak berkebutuhan khusus untuk belajar di lembaga pendidikan mana pun. Namun, pada praktiknya lebih banyak sekolah yang menolak mendidik anak-anak autis dengan berbagai alasan. Itu pula yang dialami Irwan Wibowo (34), orangtua dari Arbiyo (4) penyandang autis. "Bilapun ada sekolah yang menerima anak autis, banyak guru yang belum sigap menangani mereka. Padahal, para penyandang autisma rawan menerima cemoohan atau kekerasan fisik dari murid-murid lain. Namun, umumnya para orangtua tak berani mengeluh karena takut anaknya malah dikeluarkan dari sekolah. Belum lagi, dengan alasan ‘butuh penanganan khusus’, sering kali pihak sekolah umum mengenakan uang pangkal dan uang sekolah yang lebih tinggi. Bahkan ada beberapa sekolah yang meminta orangtua membawa dan membayar sendiri guru pendamping (shadow aid) untuk anaknya yang dimasukkan ke sekolah tersebut. Orangtua jadi seperti ’korban’ sudah jatuh tertimpa tangga," keluh Irwan.

Hety melontarkan cerita yang tak jauh berbeda. "Saya memiliki anak peyandang autisma. Meskipun tidak terlalu berat, cukup sulit baginya untuk bersekolah di sekolah umum. Salah satu kesulitannya adalah berbaur dengan anak lain. Pernah suatu kali saya memasukkannya ke TK umum karena berharap ia bisa mengikuti perkembangan anak lainnya. Tapi gangguan autisma yang ia sandang malah menimbulkan protes dari beberapa orangtua murid karena anak saya sering berulah di kelas. Terkadang ia lari-larian, berteriak-teriak, dan sulit diam sehingga proses belajar jadi terganggu. Masalah tidak hanya di situ, ketika saya ingin menyekolahkan Ivan ke sekolah dasar, banyak sekolah yang tidak mau menerima. Banyak teman Ivan semasa di TK tidak jadi masuk ke sekolah tersebut karena Ivan mendaftar di situ. Tidak mau bermasalah, saya pun mencari sekolah lain. Saya yakinkan pihak sekolahnya jika Ivan bisa bersekolah di sana. Namun hasilnya nihil, Ivan tetap tidak bisa diterima. Alhamdulillah, kemudian saya menemukan sekolah umum yang bisa menerima anak penyandang autis. Meskipun biayanya cukup mahal, saya tidak peduli. Yang penting Ivan bisa bersekolah. Syukurlah, dengan penanganan yang baik di sekolah ini akhirnya Ivan bisa berkembang mendekati anak normal".


sumber: http://www.tabloid-nakita.com/Khasanah/khasanah09473-01.htm

Rumah Belajar : Terapi Efektif untuk Si "Special Needs"

Memiliki anak yang berkebutuhan khusus tidak perlu menjadikan Anda sedih, susah dan hilang harapan pada buah hati. Mereka sebenarnya memiliki potensi dan bakat terpendam yang harus digali lebih dalam. Rumah Belajar yang berdiri sejak November 2008 ini, mengajak setiap orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus untuk bergabung dan mengikuti terapi-terapi yang ada. Selain itu, di Rumah Belajar juga tersedia kursus melukis yang diajarkan oleh Alianto, seorang pelukis pendidik yang mengembangkan penguasaan seni lukis dan didaktika secara otodidak.

Sedangkan untuk anak-anak berkebutuhan khusus, salah satu terapinya adalah terapi wicara yang diajarkan oleh Itasari Atitungga sebagai Speech Therapist di Rumah Belajar. Ita mengatakan bahwa dalam terapi wicara ini, ia mengajarkan tentang artikulasi, bahasa, intonasi suara dan melatih anak untuk belajar berkonsentrasi serta mengontrol emosi. Sedangkan metode yang digunakan setiap tahap berbeda-beda.

Terapi Anak-anak Berkebutuhan Khusus
Dalam menerapkan terapi wicara ini, beberapa metode yang digunakan seperti; metode artikulasi, anak akan diajarkan untuk menggunakan lidahnya dalam menyebutkan huruf-huruf. Bahkan Ita seringkali meminta anak asuhannya untuk belajar menjilat di piring agar kelenturan lidah itu sendiri terlatih dengan baik. Untuk metode bahasa, Ita menerapkannya dalam bentuk bermain drama atau bermain pura-pura, biasanya ini sering disebut sebagai modeling. Masih dalam metode bahasa, Ita pun mengajarkan anak-anak di Rumah Belajar untuk berbicara tentang dirinya sendiri (self talk) dan bercerita (storytelling).

Sedangkan metode suara, termasuk di dalamnya anak-anak yang bersuara bindeng, serak, dan gangguan pita suara. Menurut Ita, untuk gangguan pita suara ini kebanyakan anak-anak baik yang berkebutuhan khusus atau bukan, biasanya gangguan yang diderita setelah operasi. Jadi, untuk memudahkan kembali berbicara dengan normal, Ita akan mengajarkannya.

Yang paling menarik adalah dalam metode irama kelancaran. Untuk metode ini biasanya digunakan pada anak-anak yang gagap, bicara terlalu cepat (clutter), dan berbicara terlalu lambat. Metode ini bisa juga dipakai untuk orang dewasa yang sering latah dalam berbicara.

”Untuk bicara gagap, dipakai terapi ketukan atau cara tunda. Caranya dengan mengambil nafas lalu hitung 1-3, baru mulai bicara perlahan. Misalnya sa..sa..saya, ma..ma..u, ma..ma..kan. Setelah beberapa kali, kemudian ketukannya dipercepat sedikit. Sampai si anak bisa berbicara tidak gagap lagi meskipun masih harus dibimbing. Untuk melatih ini, peran orangtua di rumah sangat penting. Karena jika hanya di tempat terapi saja latihan, di rumah tidak. Menurut saya percuma saja,” terang Ita.

Melatih Konsentrasi dan Emosi
Ada lagi metode tambahan dalam terapi wicara, yaitu Brain Gym yang tujuannya melatih konsentrasi dan emosi anak saat menjalani terapi. Biasanya di tengah-tengah terapi, anak sering mudah tantrum. Oleh karena itu, Brain Gym melalui Ritme Movement Training (RMT) menjadi efektif. Menurut Ita, dari Brain Gym ini tujuannya untuk memperbaiki gerakan-gerakan refleks anak, mengaktifkan kembali otak kanan dan kiri, serta menenangkan anak supaya siap untuk diterapi kembali. Brain Gym ini hanya dilakukan 15 menit bahkan lebih sesuai kebutuhan dan kondisi si anak.

“Pada dasarnya terapi wicara ini bertujuan melatih komponen-komponen berkomunikasi, termasuk di dalamnya berbahasa dan berbicara pada anak berkebutuhan khusus. Melalui Rumah Belajar ini, saya ingin membantu berbagai macam anak dengan kasusnya , supaya mereka bisa sukses,” tutur Ita.

sumber: http://www.parentsguide.co.id/dsp_content.php?kat=2&pg=cns&emonth=08&eyear=2009&page=2&gp&page=3&gp&page=1&gpage=1