Minggu, 25 April 2010

Lukman: Sebuah Potret dalam Paradigma Pertumbuhan

(Tulisan ini dibuat untuk anak-anak istimewa di Tetum yang punya cara belajar berbeda, teman-teman sekelas yang mau menerima mereka, dan orang tua yang dapat menjawab dengan bijak tentang kehadiran anak-anak itu)

Lukman memandang kura-kura di air mancur, sementara teman-temannya sedang mendengar Kak Ria mendongeng di teras kelas. Ketika Kak Aas memegang lengan Lukman dan mengajaknya bergabung dengan Kak Ria, Lukman berteriak,“Nggak!” Kak Aas terkejut. Hari itu, tanggal 23 Maret 2009, untuk pertama kalinya di sekolah Lukman mengeluarkan kata bantahan, “Nggak.” Di rumah dia sudah mengucapkan “Nggak” untuk pertama kalinya beberapa hari sebelumnya, yang membuat mamanya terkejut dan gembira.

Anak Indonesia pada umumnya dapat mengucapkan bentuk negatif (bukan-belum-jangan-nggak/ndak) pada usia dua tahun. Lukman untuk pertama kalinya memproduksi bentuk negatif beberapa hari setelah ulang tahunnya yang ke-4.

Lukman mengalami perkembangan pemerolehan bahasa yang lebih lambat daripada anak lain. Dia mengalami kesulitan untuk memberikan respon dan menerima makna yang diberikan oleh sekelilingnya. Lukman tidak mengalami kelainan organik. Struktur organ wicara dan pendengarannya baik (hanya saja dia cenderung hipersensitif terhadap suara – terkadang Lukman menutup telinga pada saat kegiatan menonton film). Lukman juga mempunyai kemampuan kognitif yang baik. Misalnya, ketika mamanya mengajarinya mengenali globe dengan mengatakan, “Lukman disini ni, di In Do Ne Sia,” Lukman meniru, “Indonesia.” Lalu ibunya menjelaskan di mana penguin, gajah, beruang kutub, dan dinosaurus. Ketika globe diputar lagi, Lukman dapat menyebutkan dengan tepat di mana letak hewan-hewan itu dan dirinya.

Meski memiliki kemampuan kognitif yang baik, karena masalah-masalah yang dimiliki Lukman, dia cenderung memperlihatkan perilaku yang tidak sesuai norma umum. Bila diajak dalam kegiatan kelompok, tak jarang dia menendang, mencubit dan menggigit Kak Aas atau kak Ria atau melempar setumpukan buku atau balok.

Secara bercanda saya katakan kepada mama Lukman bahwa saya ingin digigit Lukman, yang menandakan dia sudah nyaman mengekspresikan perasaan kepada saya. Memang, pada akhirnya Lukman melayangkan tangan kecilnya ke pipi saya ketika saya mendekatinya karena dia menendang seorang teman yang ingin ikut membaca bukunya. Jumat lalu pun dia beberapa kali mengepalkan tangan dan mendorong lengan saya, ketika saya mengingatkannya agar tidak duduk di ujung dinding perosotan.

Menurut Ibu Alzena Masykouri, psikolog yang memantau perkembangan Lukman, bahwa Lukman menunjukkan perilaku agresif dalam menunjukkan kemarahan, menunjukkan bahwa dia mengalami kemajuan dalam mengenali dan mengekspresikan emosinya. Hanya saja Lukman masih perlu berlatih untuk meregulasi emosinya dan menunjukkan emosi dengan cara yang adaptif.

Tantrum Lukman tak luput dari perhatian teman-temannya. Ibu Vina menulis kepada saya bahwa hampir setiap pulang sekolah Vina bertanya kenapa Lukman selalu marah-marah. Dengan bijak ibu Vina menjelaskan bahwa Lukman tidak sama dengan Vina dan teman-teman lain, jadi Vina harus memahami.
Tentu jawaban itu tidak memuaskan Vina. Dia pun bertanya lagi, “Lukman sakit apa?”

Ya, akan mudah menjelaskan kepada anak, bahkan kepada orang dewasa sekalipun, mengenai perbedaan yang nyata secara fisik. Kami pernah mengadakan sesi “Sehari Bersama Hegar” untuk menjelaskan kondisi Hegar yang perlu memakai alat bantu dengar. Bunda Hegar menjelaskan kepada anak-anak tentang riwayat Hegar sejak di kandungan dan mengapa Hegar sampai memakai alat yang ditanamkan di kepalanya. Acara itu berakhir dengan permainan tikus kucing yang digemari anak-anak Tetum, dengan Hegar sebagai tikus dikejar oleh Rayi sebagai kucing.

Acara itu sebetulnya merupakan “pengesahan MoU” antara kami, orang dewasa –sekolah dan orang tua Hegar—mengenai apa yang akan kami lakukan terhadap Hegar. Bagi teman sekelasnya, acara itu merupakan pengenalan terhadap alat bantu dengar Hegar, kebutuhan Hegar akan alat itu dan bahwa mereka harus ikut menjaganya. Secara sosial, tanpa acara itu mereka sudah menerima Hegar, dan Hegar pun menjadi bagian dari mereka. Tanpa bahasa verbal, mereka melakukan komunikasi dan menjalani kegembiraan tanpa hambatan. Hegar adalah anak yang penuh percaya diri dan memiliki kemampuan kognitif dan sosial yang baik.

Berbeda dengan anak-anak yang tidak secara nyata memiliki perbedaan, apalagi yang memiliki hambatan melakukan interaksi sosial. Yang tampak di mata anak-anak dan orang tua –ketika menjadi visiting parents atau menjemput—adalah adanya seorang anak senang berjalan-jalan di halaman, tidak mau masuk kelas, dan kerap agresif.

Kami tahu ada tanya dalam pandangan orang tua ketika melihat Lukman, namun secara etika kami tidak bisa menjelaskan kondisi seorang anak kepada orang tua lain. Kami hanya dapat meyakinkan –secara tak langsung—bahwa kehadiran seorang anak berkebutuhan khusus tidak membuat putra-putri mereka menjadi terabaikan.

Karena surat ibu Vina, saya pun mengajak mama Lukman untuk membuka diri dengan kehadiran anak-anak berkebutuhan khusus di Tetum, dimulai dari Lukman. Sebuah keterbukaan dapat mengajak orang tua untuk mempersepsi anak berkebutuhan khusus dalam paradigma pertumbuhan (growth paradigm), bukan paradigma defisit/kekurangan (deficit paradigm). Dalam paradigma pertumbuhan itu kita mempersepsi bahwa seorang anak berkebutuhan khusus adalah individu dengan cara belajar berbeda, bukan seseorang yang memiliki defisit kemampuan sehingga dia menjadi tidak bisa melakukan hal yang dilakukan mainstream. Orang di sekelilingnya –terutama orang tua dan guru– perlu membantunya agar dia dapat mengembangkan potensinya.

Cobalah kita telaah ketika Lukman berkeliling-keliling di halaman dan membuang muka dan menendang sewaktu diajak Kak Aas ke kelas. Dari segi pemahaman bahasa, tampaknya Lukman sudah memahami ajakan, “Ayo, Lukman ke kelas.” Ini terlihat dari reaksinya dengan membuang dan menendang. Apakah sungguh Lukman paham? Ya, bila dilihat dari kebiasaannya meninggalkan crowd (kelompok teman-temannya) dan keengganannya berada di kelas kecuali bila di kelas ada benda yang jadi fokus perhatiannya, misalnya, buku. Jadi, ketika berada di dalam kelas, Lukman tidak terlibat dalam kegiatan kelas. Bila ditegur, dia akan bereaksi keras. Reaksi keras itu menunjukkan bahwa Lukman masih perlu belajar dalam berekspresi. Masalahnya tak hanya terkait dengan produksi bahasa (dapat menyampaikan penolakan dengan manis), tapi juga masalah yang terkait dengan gangguan komunikasi, yaitu resistensi terhadap perubahan dan kecenderungannya pada kerutinan, interaksi sosial, pengaturan (organizing) dan keteralihan.

Lukman akan lebih bisa kooperatif bila resistensi terhadap perubahan berkurang. Dia menjadi stres bila keasyikannya saat menekuni suatu hal diputus (sedang mengamati kura-kura-kura, diajak ke kelas). Bila Lukman memiliki kebutuhan untuk interaksi sosial, dia juga akan kooperatif melakukan kegiatan bersama teman, baik di dalam maupun di luar kelas. Interaksi sosial ini tidak hanya berada di dalam suatu ruang bersama-sama, tetapi terjadi pertukaran komunikasi verbal maupun nonverbal. Lukman perlu stimuli untuk mengoptimalkan perkembangannya dengan terapi sensori integrasi di suatu klinik, di rumah dan di sekolah.

Menyekolahkan Lukman di sekolah umum merupakan bagian dari paradigma pertumbuhan: mempersepsi dia bahwa dia memiliki cara belajar berbeda dan berpotensi untuk berkembang. Persepsi ini harus dimiliki oleh orang-orang di sekelilingnya, sebagai wujud pengabdian kita terhadap Tuhan yang telah menciptakan manusia secara berbeda-beda. Bukan keinginan Lukman untuk menjadi seperti itu, bukan pula pilihan orang tuanya untuk memiliki anak yang pada awalnya seolah tak membutuhkan orang-orang di sekelilingnya.

Dari kasus Lukman kita malah jadi belajar menghargai anugrah Tuhan yang begitu berharga: kemampuan mengekspresikan diri. Mama Lukman dengan rajin mencatat perkembangan Lukman dari satu langkah ke langkah lain. Misalnya, ketika Lukman berebut Mama dengan Reza kakaknya; ketika mengamati bahwa spanduk Tetum yang dipasang di jalanan depan rumahnya tidak ada (“Ya, Tetum hilang”); ketika Lukman berpapasan dengan Sari, teman sekelasnya, dan mengatakan, “Hai tunggu”; atau ketika pertama kali minta tolong (“Mama tolong pasang Tupi ya Ping-Ping”). Saya pun jadi GR ketika kemarin bersalaman dengan Lukman, dan dia berpikir sejenak sebelum akhirnya mengucapkan, “Kak Endah.” Itu adalah pertama kali Lukman menyebut nama saya, berkat stimulasi yang diberikan ibunya.

Membesarkan Lukman menjadi hari-hari yang penuh tantangan bagi orang tua Lukman. Mereka dengan jujur mengakui tidak mudah. Memahami masalah Lukman adalah sebuah PR besar, dan mengatasi pergulatan diri adalah proses belajar yang lain. Ini komentar Mama Lukman tentang ajakan saya untuk membuka diri kepada orang tua teman-teman anaknya: Monggo kak Endah, silakan ditulis. Saya pun ingin tahu bagaimana reaksi orang tua yang lain. Ini adalah suatu tahapan yang harus kami lalui di mana pun Lukman bersosialisai. Mungkin ada yang mendukung, mungkin ada yang tidak memahami dan memandang perbedaan tersebut seharusnya tidak perlu. Bukan sekali dua kali orang tua di milis anak berkebutuhan khusus yang saya ikuti mengeluh dan menangis karena masalah ini. Jadi kami pribadi sudah cukup tahu, dan mudah-mudahan cukup siap dengan reaksi para orang tua lain…

(Ditulis di Notes FB Sekolah Tetum, 18 Mei, 2009)


sumber: http://endah.sekolahtetum.org/?p=11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar