KOMPAS.com - Setiap tahun, angka kejadian autisme meningkat pesat. Data terbaru dari Centre for Disease Control and Prevention Amerika Serikat menyebutkan, kini 1 dari 110 anak di sana menderita autis. Angka ini naik 57 persen dari data tahun 2002 yang memperkirakan angkanya 1 dibanding 150 anak.
Di Indonesia, tren peningkatan jumlah anak autis juga terlihat, meski tidak diketahui pasti berapa jumlahnya karena pemerintah belum pernah melalukan survei.
Menurut data resmi yang dikeluarkan pemerintah AS tersebut, disebutkan satu persen anak di sana kini menunjukkan beberapa gejala autisme, seperti gangguan berkomunikasi, bahasa, dan kemampuan kognitif, mulai dari yang ringan sampai berat.
Data ini juga menguatkan temuan berbagai studi yang menyebutkan gejala autis lebih sering terlihat pada anak laki-laki dibanding perempuan. Menurut data CDC ini, pada anak laki-laki prevelansinya naik 60 persen dibanding dengan data tahun 2002. Sementara pada anak perempuan hanya 48 persen.
Yang menarik untuk diketahui adalah mengapa kini makin banyak anak yang menderita autis? Yang pasti jawabannya tidak sederhana karena banyak faktor yang terlibat di dalamnya.
Berbagai studi menyatakan naiknya jumlah anak autis bisa dijelaskan lewat luasnya karateristik yang dipakai untuk menentukan diagnosa anak austis serta peningkatan akses informasi pada kondisi autis. Meski begitu, masih ada tanda tanya besar mengenai penyebab meningkatnya tren gangguan kondisi ini.
Beberapa penelitian menunjukkan, perubahan genetik merupakan penyebab gangguan autis. Namun beberapa pakar menyatakan kurang yakin dengan penjelasan ini. "Bila kita melihat peningkatan tren seperti ini, maka kita harus mulai mengarahkan fokus pada isu lingkungan," kata Dr.Thomas Insel, direktur National Institute of Mental Health.
Karena kebanyakan gejala autis didiagnosa sebelum anak berusia dua tahun, kebanyakan pakar percaya bahwa faktor pencetusnya terjadi pada masa kehamilan atau pada bulan-bulan awal kehidupan bayi. Usia ibu yang terlalu tua saat hamil, selain juga paparan lingkungan yang dialami bayi, misalnya pola makan atau terjadinya infeksi pada bayi, diduga berpengaruh besar pada timbulnya autis.
Karena belum jelasnya penyebab penyakit ini, orangtua belum bisa menentukan tindakan preventif apa yang bisa dilakukan. Namun para ahli berpendapat terapi perkembangan terpadu sebaiknya langsung dilakukan begitu anak didiagnosa autis. Dengan terapi terpadu, diharapkan kemampuan anak dalam bersosialisasi dan berkomunikasi akan meningkat.
Kerjasama yang erat antara orangtua, terapis, dokter, psikolog, serta guru di sekolah diperlukan agar penanganan anak autis bisa lebih baik lagi.
Sumber : TIME.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar