Kamis, 18 Maret 2010

Pantang Menyerah Menemani Anak Autis

Autism Child Jakarta, Tidak ada satu orang tua pun yang menginginkan anaknya terlahir sebagai anak autis. Namun ketika hal itu benar-benar menimpa mereka, tidak ada sikap yang lebih baik lagi selain menerima keadaan mereka apa adanya.

Autis merupakan gejala yang timbul karena adanya gangguan atau kelainan saraf pada otak seseorang. Autis bukanlah suatu penyakit, tapi gejala

Saat ini, banyak orang tua yang khawatir ancaman autis bakal menimpa anaknya. Mereka mulai panik ketika bayi mereka tidak bereaksi keika dipanggil, sering menangis, tidak ada eye contact, tidak tersenyum dan kadang terpukau dengan suatu benda.

Dra. Louisa Maspaitella, M.Psi dari RSAB Harapan Kita pun memaklumi kekhawatiran para orang tua tersebut.

"Saat ini jumlah anak autis di Indonesia banyak sekali, dan wajar saja orang tua ketakutan karena banyak faktor yang dapat menyebabkan seorang anak terkena autis, kita tidak pernah tahu, " ujar psikolog berdarah campuran Jawa dan Ambon tersebut dalam perbincangannya dengan detikhealth.

Dra. Louisa menyebutkan beberapa faktor penyebab autis, diantaranya faktor makanan, psikologi ibu, kurangnya oksigen, bahan-bahan kimia atau obat-obatan dan juga faktor genetik.

"Saya punya seorang pasien anak autis, ironisnya kedua orang tuanya seorang dokter, yang notabennya ahli di bidang medis. Lebih ironisnya lagi, ketiga anak mereka terlahir dalam keadaan autis semua," ungkap wanita yang sehari-harinya disibukkan di RSAB Harapan Kita sebagai ketua tim Poliklinik Parent Education.

Selidik punya selidik, ternyata sang ibu doyan makan kerang yang banyak tercemar oleh limbah zat-zat kimia. "Konsumsi seafood memang sah-sah saja, tapi segala sesuatu yang berlebih memang berakibat buruk," ucap Dra. Louisa.

Dra. Louis, begitu sapaan akrabnya, mengingatkan bahwa ibu hamil memang sangat rentan terhadap berbagai faktor resiko, kesehatan fisik dan psikis pun menjadi dua hal yang harus tetap dijaga.

Terkait dengan autis, gejala lain yang sering menyertai anak autis adalah ADHD. Berbeda dengan autis, Attention Deficit Hyperactivity Disorder atau ADHD ditandai dengan gejala hiperaktif, tidak bisa fokus pada satu kegiatan, tidak bisa diam, sering mengganggu teman dan melakukan akivitas yang jarang dilakukan anak lain pada umumnya.

Anak autis memang bermasalah dalam hal komunikasi dan interaksi sosial, sepertinya mereka memiliki dunianya sendiri. Gejala ADHD pun terkadang hinggap pada mereka, namun tidak semua anak autis disertai dengan gejala ADHD.

"Anak autis belum tentu ADHD, dan begitu pula sebaliknya. Kedua gejala tersebut berbeda satu sama lain. Jika kita ingin tahu apakah seorang anak memiliki gejala ADHD atau tidak, coba dudukkan selama 5 menit saja di depan televisi, pasti ia tidak bisa dan langsung beranjak pergi jika memiliki gejala ADHD," ujar Dra. Louis.

Jika perilaku seorang anak sudah dicurigai sebagai autis atau ADHD, Dra. Louis menyarankan untuk membawanya segera ke dokter atau psikolog.

Orang tua pun harus lebih pintar dan mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada anaknya, faktor apa saja yang memicu perilakunya, tetap menjalin komunikasi dengan anak dan jangan membiarkannya hidup dalam ketidakwajaran.

Namun Dra. Louis pun mengingatkan untuk tidak cepat-cepat memvonis seorang anak hiperaktif. "Tapi jangan salah tanggap juga, anak hiperaktif tidak selalu ADHD. Seorang anak TK umur 5 tahun yang memiliki kemampuan mental sama dengan anak umur 7 tahun, cerdas, aktif dan cepat respon tidak dapat divonis sebagai anak ADHD," ujarnya.

"Yang penting orang tua maupun guru harus tahu apakah perilaku si anak sesuai atau tidak dengan standar usianya. Thomas Alfa Edison aja dianggap bodoh dan dikeluarkan dari sekolah oleh gurunya karena berperilaku aneh, namun justru dialah yang menemukan lampu," tambahnya.

Banyak terapi yang dapat dilakukan untuk menangani anak-anak autis maupun ADHD, diantaranya terapi bicara, okupasi, sensori, diet makanan, floor time, dan lainnya. Namun yag paling penting adalah memberikan terapi sesuai
permasalahannya.

Salah satu cara kreatif yang coba diterapkan Dra. Louis untuk menangani anak ADHD adalah dengan membuat rekaman video. "Orang tua merekam perilaku si anak, kemudian memutarnya kembali untuk membuat si anak tertarik. Lewat video itu, si anak diajarkan perilaku mana yang baik dan mana yang tidak. Bakat, kepribadian dan emosinya pun dapat lebih terpantau. Terapi ini cukup berhasil membuat anak fokus sekaligus mengedukasi anak lewat media yang menarik," ujarnya.

"Orang tua harus kenal dulu penyebabnya apa, dan jangan malu berkomunikasi dengan dokter. Tidak jarang orang tua yang merasa malu dengan keadaan anaknya sehingga membiarkannya begitu saja," ucap wanita yang juga tergabung dalam Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) tersebut.

Penanganan autis memang membutuhkan waktu yang lama, ada yang dapat sembuh dan ada juga yang sulit disembuhkan. "Salah satu pasien saya dapat kembali normal ketika sudah mencapai sarjana. Saya tahu dan melihat sendiri, dibalik kesembuhannya itu ada pengorbanan yang luar biasa dari orang tuanya," ujar Dra. Louis.

"Setiap manusia pasti punya kekurangan, tapi jangan terpaku pada kekurangan itu, lihatlah kelebihannya," demikian ucap Dra. Louis.

Cara berpikir para orang tua pun harus diubah, jangan melihat dari sisi negatifnya saja, tapi lihatlah keadaan tersebut sebagai ladang bagi mereka untuk lebih sabar dan ikhlas.

"Anak autis harus diterima apa adanya, hanya dengan mencintai, menghargai dan dorongan untuk terus belajar, ia akan merasa dicintai pula," ucapnya.


Sumber: http://www.autis.info/index.php/artikel-makalah/artikel/202-pantang-menyerah-menemani-anak-autis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar