Minggu, 25 April 2010

Mereka Juga Berharga

Ya...mereka yang "rapuh" seperti Armando memang seringkali begitu mudah terlihat...tapi tak didengar...

Hari ini, sekali lagi aku kembali ikut merasakan dan belajar lagi bersama Armando, bagaimana harus hidup dalam sebuah "kerapuhan"...

karena selama ini aku telah bergabung dan berjalan bersama Armando sebagai sebuah kesatuan meski kami masing2 punya pribadi dan

cerita2 sendiri yang unik...

Aah...kerapuhan yang menyerang tubuh ternyata dapat juga menyerang jiwa... meyerang dan meruntuhkan kualitas sebuah kehidupan...

Pandangan orang mengenai kehidupan Armando yang rapuh, untuk bisa hidup "normal" dalam dunia yang "normal" selalu saja mendapatkan tantangan...

karena dalam mata banyak orang, seringkali Armando dianggap identik dengan kerapuhan itu sendiri.

Mereka yang pernah "terpukul" seperti ini tahu bagaimana frustrasinya di-marginalkan, dijauhi dan disingkirkan oleh sikap2 dingin seperti itu...

Kami seringkali hanya diberikan sekeranjang keraguan mengenai kemampuan kami, pilihan2 langkah hidup kami...

dan sering, krisis kepercayaan yang kerap menyertainya bisa menular, menjalar ke seluruh bagian dari diri kami dan membuat kami bertanya mengenai apa arti keberadaan kami...

Ternyata, dengan tubuh yang "rapuh", seluruh sendi kehidupan jadi dipertanyakan...

dari kemampuan untuk berkarya sampai kemampuan untuk bisa membangun sebuah hubungan dengan orang lain...

Kadang kami terjerembab jauh ke bawah, dan kami kehilangan kendali...

Akan tetapi, kami tetap mencoba berjalan...

bahkan, seringkali harus dengan melipat gandakan usaha kami....

karena...apa lagi pilihan kami?

Dalam perjalanan pulang, Armando berulang kali memberikan bahasa isyarat "boy" dan "girl" padaku....

Rupanya ia bingung dan bertanya mengapa ia tidak jadi bermain dengan anak2 yang berada di tempat yang baru saja kami tinggalkan itu...

Kucoba menahan gejolak di hati dan memohon padaNya untuk sekali lagi menguatkan kami...

karena bagaimana kami akan bisa menemukan jalan dan kekuatan untuk bisa berdiri lagi dan melanjutkan perjalanan tetap adalah sebuah misteri bagiku...

karena pada akhirnya, bagaimanapun banyaknya orang yang berada di sekeliling kami, kami harus berjalan sendirian...

Teman-teman kami dan orang2 yang kami cintai memang ada di dekat kami, memberikan kasih dan dukungan.

Akan tetapi, keberanian untuk mau terus melangkah tetap harus datang dari dalam diri kami sendiri...

Ya...Armando memang tak bisa berbicara.

Namun, ia tidak serapuh yang sering dibayangkan banyak orang...

Sekali-kali cobalah untuk mendengarkan suara hatinya...

Senandungnya memang sering terdengar lembut dan seakan ia sedang bernyanyi untuk dirinya sendiri...

Tapi, bila kita memilih untuk mau mendengarkan, ia sebenarnya sedang bernyanyi untuk kita juga....

Sungguh... ia sering berbicara...

dengan suara yang seringkali tak didengar...

Begitulah sepenggal tulisan Irma Koswara...dari “Sepotong Catatan Harianku”, ibunda dari Armando seorang anak penyandang “Cerebral Palsy” (kerusakan jaringan otak sejak lahir), sehingga dia tidak bisa berjalan seperti biasa, tidak bisa bicara, sering melakukan gerakan tiba-tiba dan tidak beraturan...begitu kira-kira diskripsi tentang dia. Namun di usianya yang ke 13, kemampuan yang dicapai sungguh “luar biasa”, buat orang lain hal ini biasa, tapi buat mereka yang punya kebutuhan khusus, hal itu dapat dicapai dari serangkaian proses yang tidak ringan. Saat ini, dia bisa mengoperasikan beberapa program komputer dengan sedikit bantuan. Hal ini sungguh sulit dibayangkan, karena anak semacam ini biasanya seringkali membuat gerakan-gerakan motorik yang tidak beraturan dan tidak terkendali, tetapi begitu dia memegang “tuts keyboard”, dia mampu mengoperasikannya dengan lembut dan terkendali. Dia juga bisa “berkomunikasi” melalui sarana ini, main berbagai macam “games”, dapat mengetik namanya sendiri, dan beberapa kata-kata yang familiar baginya. Selain itu, dia juga sudah mulai menguasai beberapa kata dengan menggunakan bahasa isyarat, dan tidak tanggung-tanggung, bahasa isyaratnya dengan bahasa Inggris.

Wah, bagaiman mungkin dia punya kemampuan seperti itu? Jawabannya adalah pada kekuatan doa dan ketekunan SEORANG IBU. Naluri keibuannya, telah membawa Armando pada tingkat kemampuan itu. Dia lakukan proses itu “sendirian”, karena Armando tidak mendapatkan layanan optimal dari sebuah lembaga pendidikan luar biasa sekalipun !!, ironis memang tapi itulah kenyataannya. Akhirnya dengan belajar dari “dunia maya” (internet), Irma mencari pengetahuan tentang bagaimana mendidik anak seperti Armando. Dia kumpulkan segala macam artikel itu, dan langsung diuji cobakan. Jatuh bangun memang, tapi dia lakukan dengan tekun, padahal dia tidak punya latar belakang pendidikan luar biasa (PLB). Ada banyak modifikasi dan percobaan yang dilakukannya dalam mendidik Armando.

Tulisan tersebut diatas merupakan “ekspresi feeling”nya, karena Armando tidak mendapatkan kesempatan untuk bersama dengan anak-anak sebayanya di sebuah lembaga sekolah. Sebenarnya tidak untuk selamanya, karena kepentingannya adalah supaya Armando dapat berinteraksi dengan teman sebayanya, dan itupun semacam “anak bawang” di sekolah tersebut. Tapi apa jawab pimpinan lembaga tersebut : "Ibu harus lebih realistis dalam memberikan apa yang dibutuhkan Armando. Mengapa tidak membawa Armando ke tempat anak2 yang sama sepertinya saja? Saya hanya takut dia tidak akan mampu beradaptasi di sini. Bagaimana dia akan bisa berinteraksi dengan anak-anak lainnya di sini? Ia bahkan tidak mampu berkomunikasi. Saya rasa Armando dan ibu bisa mendapatkan yang lebih baik di tempat yang sesuai dengan keadaannya dibanding bila ia di sini". Apakah itu suatu hal yang “muluk-muluk” dari harapan seorang ibu? Jadi, apa yang diupayakannya untuk melatih “berbicara” Armando, pupuslah sudah..., rupanya dunia “normal” menutup pintu untuknya.

Namun, hal itu tidak mematahkan hatinya, sedih memang, tapi lihatlah bagian akhir dari tulisannya, optimisme yang luar biasa, dan memang begitulah cara memandang penyandang kebutuhan khusus. Jangan pakai ukuran orang normal, ”sekali-kali cobalah mendengarkan suara hatinya” begitu tulis Irma. Ya.. kalau mau mengenal mereka masuklah ke dalam dunianya...Siapa bilang tunantera tidak bisa melihat? Siapa bilang penyandang tunarungu tidak bisa mendengar? Siapa bilang penyandang tuna daksa tidak bisa berjalan? Siapa bilang penyandang tuna grahita bodoh? Bukankah yang sering berkata demikian adalah kita?, karena kita pakai ukuran normal, tapi cobalah dengan perspektif mereka, maka kita akan bisa melihat bahwa ternyata mereka tidak serapuh yang di duga.

Sebagai contoh, mari kita lihat penyandang tuna netra. Pengertian “melihat” bagi tunanetra adalah sesuatu yang dapat dirasakan, diraba dan di dengar. Sedangkan pengertian “melihat” untuk orang “normal” adalah sesuatu yang bisa dilihat hanya pakai penglihatan saja, dan fungsi tangan hanyalah sebagai alat bantu. Buat mereka, tangan tidak hanya sekedar alat bantu saja, tetapi berfungsi sebagai “mata” mereka, karena dengan meraba dan merasakan, bahkan hanya “membaui” dengan hidung dan mendengar dengan telinga, mereka dapat “melihat”. Bukankah hal itu luar biasa..?.

Jadi, kalau kita mau bersabar dan berempati, untuk berada di pihak mereka, apakah masih ada alasan bagi kita untuk “menolak” mereka?. Kasus yang terjadi pada Irma dan Armando, merupakan jutaan kasus yang ada di dunia ini. Kenapa orang sulit untuk melihat dan menerima penyandang berkebutuhan khusus dari sudut pandang mereka? Salah satu penyebabnya karena manusia tidak bisa memberi jawab terhadap pertanyaan kenapa mereka terlahir di dunia ini dalam keadaan semacam itu. Sehingga tidak heran, alasan yang paling mudah yang dibuat manusia, bahwa ini karena dosa orangtuanya. Pemahaman ini sudah dan masih terjadi sejak ribuan tahun yang lalu, dan itu terus berkembang dalam lintas negara, jaman dan budaya...sehinga mengakibatkan mereka terdiskriminasi dan marjinal.

Di negara manapun juga, baik yang maju dan berkembang sekalipun, masih banyak dijumpai kasus-kasus marjinalisasi penyandang berkebutuhan khusus. Hanya saja di negara maju, masih lebih baik, karena proses belajar bagaimana memahami penyandang berkebutuhan khusus, difasilitasi oleh berbagai pihak. Ketika sebuah keluarga terlahir seorang penyandang berkebutuhan khusus, maka “suporting system” seperti medis, pekerja sosial, psikolog dan “stake holder” lain, semua memberikan dukungan aktif. Akibatnya, keluarga tidak terlalu lama di dalam proses penerimaan anaknya. Sehingga mereka bisa mendidik anaknya seperti kehidupan biasa seorang anak. Hal ini berbeda dengan keluarga di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, mereka berada dalam “stress” berkepanjangan, karena tidak mendapatkan dukungan yang kuat. Seolah mereka menanggung “sendirian penderitaan” karena kehadiran anggota keluarga penyandang berkebutuhan khusus.

Jadi untuk mengembangkan penyadaran dan cara berfikir bahwa penyandang berkebutuhan khusus, berharga di hadapan Tuhan dan manusia, maka harus dimulai dari keluarga-keluarga yang telah “menemukan” hakikat dari kehadiran mereka. Supaya keluarga dapat menemukan bahwa mereka berharga, mari kita simak Yohanes 9:1-3 : “Waktu Yesus sedang lewat, Ia melihat seorang yang buta sejak lahirnya. Murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya: "Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?"Jawab Yesus: "Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia”

Jawaban Yesus tersebut sangat jelas, bahwa kehadiran penyandang berkebutuhan khusus, sama sekali tidak berhubungan dengan dosa. Malahan kehadirannya mempunyai aspek yang penting bahwa “pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia (tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, autis, tuna daksa dan lain sebagainya)”. Bukankah kehadiran mereka punya arti yang istimewa? Dimana keistimewaannya?. Menjadi istimewa, karena dengan kehadiran mereka, keluarga adalah orang pertama yang mendapat kesempatan melihat PEKERJAAN-PEKERJAAN ALLAH. Bukankah hal itu merupakan kehormatan yang diberikan Allah, karena tidak semua orang mendapatkan kesempatan seperti itu. Karena istimewa, maka tentunya orang yang mau menyaksikanNya harus mau membayar harga, yaitu melepaskan kekuatiran, kesedihan, ketakutan, ketidak percayaan dan perasaan negatif lainnya pada Salib Kristus. Inilah harga yang mahal !!, kesempatan tapi juga sekaligus tantangan.

Ada banyak keluarga yang bersaksi tentang kemenangan-kemenangan yang berhasil mereka dapatkan, tetapi ada banyak keluarga yang justru semakin terbenam dalam perasaan-perasaan itu. Jika keluarga, memilih untuk tidak melepaskan “miliknya”, maka semakin mereka tidak bisa menyaksikan pekerjaan-pekerjaan Allah. Tetapi semakin keluarga berproses melepaskan itu semua, semakin mereka bisa mensyukuri kesempantan istimewa ini.


Apa ukurannya, jika sebuah keluarga memanfaatkan kesempatan istimewa itu. Jelas yang bisa disaksikan adalah pada buahnya, yaitu pertumbuhan dan perkembangan anaknya dapat berkembang wajar walaupun berkebutuhan khusus, apapun dan bagaimanapun tingkat kebutuhan khususnya. Contoh kisah Irma Koswara diatas, adalah salah satu kisah seorang Ibu yang mampu melepaskan perasaan dan pergumulan dirinya sendiri, sehingga punya “fighting spirit” yang luar biasa. Hal ini tentunya tidak dapat diperolehnya kalau tidak berhubungan intim dengan Allah, tentunya hal ini dilakukan terus menerus sepanjang hayat. Bukankah terbinanya hubungan intim antara manusia dan Allah menjadi tujuan utama PEKERJAAN Allah? Jadi, berbaahagialah keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus, karena anda adalah termasuk orang yang dipercaya olehNya untuk menyaksikan pekerjaanNya.


sumber: http://rawinala.or.id/mereka-juga-berharga.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar