Sabtu, 17 April 2010

Rumah Cinta Anak-anak Spesial

Seperti semua anak lainnya, anak-anak autis pun punya hak atas pendidikan dan terapi. Namun pada kenyataannya, hak-hak mereka sering terabaikan. Lebih-lebih mereka yang lahir dari keluarga tak mampu.
-----

Ismunawaroh bukan ibu dari anak autis. Tapi ia tahu betul bagaimana perjuangan orang-orangtua yang punya anak autis. “Punya anak autis itu tidak hanya menguras dompet, tapi juga betul-betul menguras air mata,” katanya. Tahun 2004, perempuan yang biasa dipanggil Isti ini bekerja sebagai terapis di sebuah lembaga terapi anak autis di Bekasi. Di situ ia mulai mengamati betapa biaya terapi buat anak autis benar-benar tidak terjangkau oleh mereka yang berasal dari keluarga tak mampu.

Salah satu anak autis yang ia tangani adalah Ana, yang waktu itu berusia 2,5 tahun. “Anaknya sangat hiperaktif!” kata Isti menggambarkan kondisi Ana saat pertama dibawa ke pusat terapi. Sudah hiper, sangat pula. Bisa dibayangkan betapa repot kedua orangtuanya.

Perawakannya kecil tapi aktifnya luar biasa. Tidak bisa diam, selalu lari ke sana kemari. Jika berjalan, apa saja yang berada di depannya akan ditabrak. Di usianya yang sudah menginjak 2,5 tahun, ia masih belum bisa berkomunikasi sama sekali. Tidak ada satu pun kata yang keluar dari mulutnya. Ia seperti hidup di dunianya sendiri, tidak punya kontak mata dengan orang lain.

Bapaknya, Yasmir, seorang Satpam dengan penghasilan Rp 700 ribu sebulan. Sedangkan biaya terapi Ana waktu itu Rp 1,2 juta sebulan. Besar pasak daripada tiang. Karena tak kuat membayar biaya terapi, Yasmir akhirnya menghentikan terapi buat Ana meskipun ia kewalahan merawat anaknya. Ketika pamit dari pusat terapi, Yasmir sempat curhat kepada Isti. Curhat Yasmir yang mengharukan itu ternyata begitu membekas di pikiran Isti sampai membuat ia berkeinginan membuat pusat terapi sendiri khusus buat anak-anak dari keluarga tak mampu.

“Sebetulnya pusat terapi autis cukup banyak, tapi kebanyakan masih tak terjangkau oleh keluarga miskin,” kata Isti. Ini pun masih ditambah oleh rendahnya kesadaran orangtua untuk memberikan terapi dan menyekolahkan anak autis. Maklum, masih banyak orangtua yang bahkan belum pernah mengerti apa itu autis.

Di Indonesia, pendidikan untuk anak-anak autis ini bisa dibilang belum mendapatkan perhatian dari Departemen Pendidikan Nasional. Biasanya mereka ditampung di Sekolah Luar Biasa (SLB). Padahal, kondisi masing-masing anak autis ini sangat khas dan membutuhkan penanganan yang individual. Tidak semua dari mereka mengalami retardasi mental. Tak sedikit anak autis yang sangat cerdas. Karena itu mereka tidak bisa begitu saja ditangani dengan cara pendidikan SLB. Anak-anak itu harus diperlakukan sesuai kondisi mereka, apa adanya.

Bersama Henny Marifah, teman sesama terapis, Isti kemudian mematangkan rencana. Tapi mereka berdua terkendala masalah biaya. Soalnya, untuk membuat pusat terapi autis tidak semudah membuat taman kanak-kanak atau taman bermain. Alat terapi dan bermain harus didesain secara khusus. Terapis juga harus mendapatkan pelatihan khusus. Itu semua membutuhkan biaya yang cukup banyak.

Beruntung, Isti dan Henny kenal dengan pasangan suami-istri yang punya kepedulian serupa, Deka Kurniawan dan Laeli Ulfiati. Gayung pun bersambut. Deka, yang berprofesi sebagai wartawan dan punya banyak kenalan, kemudian bertindak sebagai eksekutor. Dengan modal tekad, di akhir 2004, mereka mendirikan Yayasan Cahaya Keluarga Kita (YCKK) untuk mewujudkan ide membuat pusat terapi autis.

Dengan dibantu Hambali, adik Deka, mereka menyulap rumah kontrakan keluarga Deka di Bekasi yang sederhana menjadi tempat terapi. Bagian dalam rumah disekat-sekat dengan tripleks. Satu kamar digunakan sebagai ruang pribadi untuk keluarga Deka, sisanya untuk ruang terapi. Isti dan Henny mengundurkan diri dari tempat kerja mereka dan menjadi terapis penuh waktu di Rumah Autis yang mereka rintis.

Ana yang baru saja putus terapi menjadi murid pertama di situ, bersama tiga anak lainnya: Sarah (8 tahun), Asril (5 tahun), dan Khalid (7 tahun). Semuanya berasal dari keluarga dengan penghasilan beberapa ratus ribu sebulan. Deka, Laeli, Isti, dan Henny bukan hanya harus bekerja tanpa bayaran, tapi juga harus menanggung semua biaya yang dibutuhkan untuk kelangsungan Rumah Autis.

Dengan memanfaatkan jaringannya sebagai wartawan, Deka berjibaku mencari donatur. Usahanya tak sia-sia. Setelah berjuang pontang-panting, ia berhasil mengetuk hati beberapa donatur, di antaranya Hidayat Nurwahid (ketua MPR), istri Duta Besar Uni Eropa, Pemerintah Daerah Bekasi, dan banyak donatur lainnya. Sebagian menyumbang uang, mainan, komputer, dan lain-lain.

Dengan bantuan donasi itulah mereka mencukupi kebutuhan biaya Rumah Autis. Pelan-pelan Rumah Autis pun menambah murid baru. Para orangtua anak autis itu tidak diwajibkan membayar. Mereka hanya menyumbang semampu mereka. Ada yang menyumbang uang sekadarnya, menyumbang makan siang, makanan kecil, kue, pisang goreng, bala-bala, bahkan ada pula yang menyumbangkan tenaga membersihkan rumah. Meskipun nilai materialnya tidak begitu besar, sumbangan itu menyalakan semangat dan kesabaran para terapis yang tiap hari harus berjuang melawan stres karena menangani anak-anak yang susah diatur.

Pihak yayasan bahkan ikut membantu membina keluarga yang tingkat kemiskinannya mungkin sampai di luar bayangan kita. Seperti yang terjadi pada keluarga Hamzah, salah satu murid. Ibunya, yang menjadi tulang punggung ekonomi keluarga, berjualan gorengan dengan penghasilan Rp 150 hari sebulan. Padahal ia harus menghidupi tiga orang anak, dan salah satunya autis.

Sehari-hari, Hamzah tidak mau makan nasi. Ia hanya mau makan kentang goreng terus-menerus. Ia juga punya masalah penglihatan. Kedua matanya yang plus sepuluh pernah dioperasi katarak. Kalau ia berjalan, meja, tembok, kursi, orang, apa saja akan ditabrak. Siapa saja yang berusaha menghalangi jalannya akan ia cakar, gigit, dan tendang, tak peduli siapa pun dia. Bisa dibayangkan betapa repot si ibu yang harus merawat Hamzah. Oleh pihak yayasan, Hamzah, yang rumahnya di Cijantung, Jakarta Selatan, kemudian dicarikan kontrakan yang dekat dengan Rumah Autis di Bekasi.

Kesabaran tak ada batasnya
Sembari jumpalitan mencari donatur, Deka juga berkeliling mencari tenaga relawan yang bersedia bekerja tanpa gaji. Para relawan terapis dan asisten terapis itu setiap hari harus bersedia dicakar, digigit, ditendang, atau dilempari papan tulis oleh anak-anak yang hiperaktif. Selain berhasil merekrut para terapis, Deka juga berhasil mengajak dua orang dokter untuk bergabung. Tugas mereka, secara berkala datang ke Rumah Autis untuk memeriksa kesehatan anak-anak autis di situ. Tanpa bayaran.

Setelah terjun total di dunia terapi autis, Isti, yang pernah dilempari papan sampai bibirnya pecah, mengaku memperoleh pelajaran besar dalam hidupnya. “Kesabaran itu seperti samudera,” katanya. Kita tidak tahu di mana batas kesabaran itu karena saking luasnya. Tidak seperti pandangan umum yang menyatakan bahwa kesabarana ada batasnya.

Dengan keikhlasan dan kesabaran yang luar biasa dari semua relawan, Rumah Autis sedikit demi sedikit terus beranjak menjadi lebih profesional dan tertata. Dengan bantuan donatur, Rumah Autis kemudian bisa menyewa sebuah ruko berlantai dua di daerah Jati Kramat, Bekasi. Seiring dengan makin banyaknya murid yang diterima, sedikit demi sedikit tenaga terapis dan guru juga ditambah. Maklum, proses terapi anak autis harus dilakukan satu guru satu murid. Kriteria para terapis yang direkrut pun tetap sama: bersedia bekerja dengan imbalan seadanya, dan tiap hari harus bersedia dicakar, digigit, dan ditendang anak-anak.

Kini kegiatan Rumah Autis bukan hanya sebagai pusat terapi, tapi juga menyelenggarakan sekolah khusus buat anak-anak autis. Dengan jumlah terapis (plus asisten) 13 orang, Rumah Autis kini menangani 55 anak. Jumlah yang cukup besar untuk ukuran sebuah yayasan yang dibangun dengan modal tekad saja.

Sebagian besar murid berasal dari keluarga tak mampu. Mereka hanya bisa berkontribusi seratus atau beberapa ratus ribu rupiah sebulan. Angka ini terbilang jauh dari semestinya karena biaya terapi anak autis normalnya sekitar Rp 60 ribu per jam. Untungnya, sebagian orangtua murid termasuk keluarga mampu. Mereka ini sekaligus bertindak sebagai donatur yang bersedia membayar lebih tinggi untuk subsidi silang.

Saat ini Rumah Autis bahkan sudah punya empat cabang yang tersebar di Gunung Putri (Bogor), Tanjung Priok (Jakarta Utara), Tangerang dan Depok. Kini, tiap hari Rumah Autis Bekasi selalu ramai oleh “anak-anak spesial”. Ini sebutan sayang untuk mereka, selain sebutan “anak-anak berkebutuhan khusus”.

Secara fisik, mereka tidak jauh berbeda dari anak-anak kebanyakan. Ana, murid pertama yang kini berusia 6 tahun, sudah bisa membaca dan berkomunikasi. Hiperaktifnya juga sudah bisa dikendalikan. Sarah, yang dulu dulu dijuluki “tsunami” (karena apa saja ditabrak kalau berjalan), kini sudah masuk sekolah khusus, komunikasinya juga sudah lancar. Ia sudah mandiri, bisa mandi dan memakai pakaian sendiri, bisa memasak, membuat jus, teh, dan mengurus diri sendiri.

Kini, di usia Rumah Autis tahun kelima, Isti mengaku masih punya obsesi membuat tempat khusus untuk mempekerjakan karyawan autis. Sekarang, keinginan ini memang masih sebatas cita-cita. Tapi Isti yakin, cita-cita itu akan terwujud kelak dengan modal ikhlas dan sabar. Itu adalah dua bekal utama saat mereka pertama menjadikan rumah kontrakan Deka sebagai tempat terapi autis. “Kami tidak punya materi yang bisa diberikan kepada mereka, tapi kami punya tenaga dan pikiran yang mungkin bisa bermanfaat buat mereka.” Itulah cara mereka berbagi. (M. Sholekhudin)


sumber: http://emshol.multiply.com/journal/item/505/Rumah_Cinta_Anak-anak_Spesial_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar